Komunikasi Pemerintah dan Warga Mendesak Dilakukan
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meminta Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk berkomunikasi dengan masyarakat dan dinas terkait untuk membahas perdebatan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Hal ini penting dilakukan agar pembangunan bisa berjalan tanpa menimbulkan efek negatif yang mengancam ekosistem orangutan Tapanuli dan kehidupan masyarakat.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut Dana Prima Tarigan di Jakarta, Kamis (20/9/2018), mengatakan, pembangunan PLTA Batang Toru mengancam habitat orangutan Tapanuli, kera besar yang hanya ada di Tapanuli dengan jumlah sekitar 800 ekor. Pembangunan akses sepanjang sekitar 20 kilometer dinilai membuat habitat orangutan terbagi dua. Kondisi ini dikhawatirkan membuat mobilitas orangutan terhambat sehingga bisa berakibat kepunahan.
Tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dikirim ke wilayah pengerjaan proyek PLTA Batang Toru sejak 10 September 2018 memperkuat kekhawatiran itu. Tim KLHK menemukan tiga sarang baru orangutan. Hal ini menunjukkan sudah terjadi perpindahan orangutan di sekitar lokasi pembangunan akses PLTA. Orangutan diperkirakan menyingkir ke tempat baru untuk mencari tempat yang lebih aman bagi mereka karena ada aktivitas pembukaan akses jalan PLTA.
Karena itu, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) Wiratno, mengatakan, KLHK sudah mengirim surat ke Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. "Surat itu berisi saran dari menteri KLHK kepada Gubernur Sumut agar mengadakan rapat bersama dengan perusahaan pemilik saham, lembaga swadaya masyarakat, KLHK, masyarakat, dan lembaga terkait lain," kata Wiratno, ketika dihubungi Kompas, Kamis (20/9/2018).
Ia berharap pertemuan itu segera diagendakan agar komunikasi lintas sektor segera terjalin. Menurutnya, semakin cepat pertemuan itu dilaksanakan, semakin baik untuk menemukan jalan keluar. Wiratno berharap Gubernur Sumut mengagendakan pertemuan itu pekan depan.
KLHK juga sudah menyurati pemilik saham PLTA Batang Toru, yakni PT North Sumatera Hydro Energy pada 17 September lalu. Surat itu berisi saran agar PT NSHE memiliki sistem monitoring terhadap pengerjaan proyek PLTA. Itu dimaksudkan agar pembangunan proyek tidak mengancam kehidupan jangka panjang orangutan.
Dalam diskusi Walhi yang bertajuk Menyelamatkan Rimba Terakhir Batang Toru di Jakarta, Dana mengatakan, meski wilayah yang dijadikan untuk PLTA tidak luas, tetapi berisiko mengisolasi habitat orangutan.
Catatan Walhi menunjukkan, saat ini orangutan tersebar di tiga lokasi, yakni blok barat, blok timur, dan di Cagar Alam Sibual-buali. Walhi mencatat, lokasi sekitar proyek PLTA mempunyai kepadatan orangutan paling tinggi dari semua lokasi survei di Ekosistem Batang Toru. Dana mengatakan, populasi orangutan di blok timur dan di Sibual-buali akan punah apabila tidak dapat dihubungkan kembali dengan blok barat.
“Dalam jangka panjang, akan terjadi perkawinan sekerabat (imbreeding) yang berisiko menimbulkan kecacatan dan kepunahan secara perlahan,” ujar Dana.
Dampak lingkungan
Selain mengancam orangutan, bendungan PLTA berisiko jebol akibat bencana gempa karena bendungan dibangun di dekat sesar besar Sumatera. Data yang dikumpulkan Walhi menunjukkan terjadi 60 gempa berkekuatan 3,5 SR dalam radius 25 kilometer dari bendungan. “Apabila bendungan jebol akibat gempa suatu saat nanti, bisa membahayakan masyarakat di sekitarnya,” kata Dana.
Selain itu, pembendungan air sungai dianggap mengancam kehidupan masyarakat hilir sungai karena berisiko banjir. Akademisi Fakultas Tekhnik Universitas Sumatera Utara, Jaya Arjuna, mengatakan, masyarakat hilir sungai terancam banjir akibat pembendungan sungai.
“Saya membaca amdal proyek itu. Untuk mendapatkan 510 MW listrik, air sungai akan dibendung selama 18 jam. Air itu kemudian dialirkan untuk menggerakkan 4 x 127,5 MW turbin,” ujarnya.
Menurut Jaya, hal itu berbahaya karena setelah dibendung selama 18 jam, air itu akan dilepaskan selama enam sampai tujuh jam. Volume dan derasnya air yang dilepaskan dikhawatirkan mengakibatkan banjir di sekitar pemukiman masyarakat hilir sungai.
Koordinator Tim Kuasa Hukum Walhi, Golfrid Siregar, mengatakan, saat ini Walhi sudah mengajukan gugatan ke pengadilan dengan tuntutan kepada Gubernur Sumut untuk membatalkan izin lingkungan pengerjaan proyek tersebut.
“Kita minta ada putusan sela, yaitu sebelum ada keputusan hukum yang tetap, kita mau izin pembangunan proyek itu ditunda dulu,” kata Golfrid.
Ia mengatakan, seharusnya pembuatan amdal PLTA Batang Toru melibatkan masyarakat dan pemerhati lingkungan. Hal itu berfungsi agar masyarakat memiliki pertimbangan terhadap kemungkinan risiko yang mungkin dialami.