Salah satu ruang tamu di kediaman Ibu Sinta Nuriyah istri almarhum Presiden ketiga KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan, Jumat (23/6). Almarhum Gus Dur sering menerima tamu dari beragam golongan di ruangan ini hanya dengan beralaskan karpet. Kursi dan meja dipasang setelah Gus Dur wafat.Kompas/Hendra A Setyawan (HAS)23-06-2017Untuk Aku dan Rumahku
Menjelang Pemilu 2019, sejumlah pihak mendekati keluarga Gus Dur. Namun, yang sebenarnya lebih penting adalah memastikan warisan Gus Dur dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, telah berpulang sembilan tahun lalu. Namun, pengaruhnya tidak lekang oleh waktu. Setiap kali menjelang pemilu, rumah Gus Dur di Ciganjur, Jakarta, didatangi oleh para politisi untuk meminta dukungan dan doa restu.
Sepanjang September ini saja, tiga orang yang akan berkontestasi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 telah bertamu ke rumah Gus Dur. Mereka adalah Joko Widodo, Prabowo Subianto, dan Sandiaga Uno. KH Ma’ruf Amin juga akan bertamu ke rumah Gus Dur.
Dalam acara bincang Satu Meja yang dipandu Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo dan ditayangkan Kompas TV, Rabu (19/9/2018), putri sulung Gus Dur, yaitu Alissa Wahid, menganggap hal itu adalah lumrah. Sebagai suatu pertarungan politik, setiap pihak pasti berebut untuk minta dukungan dan doa restu dari kelompok-kelompok yang punya basis massa besar.
Namun, apakah keluarga Gus Dur akan memihak salah satu pasangan? Alissa menukil kalimat ibundanya, Hj Sinta Nuriyah Wahid, bahwa pemimpin harus amanah dan mengutamakan kepentingan rakyat. ”Ibu tentu memberikan doa restu atau dukungan selama pemimpin itu amanah dan mengikuti apa yang diteladankan oleh Gus Dur, yakni yang berdasarkan pada prinsip tasharaful imam ala raiyyah manuthun bil maslahah. Artinya, siapa pun pemimpin yang amanah dan sesuai dengan prinsip tersebut pasti diberikan doa restu,” ujar Alissa.
Menurut Alissa, banyak pemimpin yang melupakan kearifan lokal. Misalnya, dalam kebijakan ekonomi, tak semua pemimpin bisa menangkap kearifan lokal berupa gotong royong. Ia mencontohkan koperasi ibu-ibu di kampung yang ikut membantu mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari atau konsep uang ”jimpitan” yang dikumpulkan oleh bapak-bapak setiap malam.
”Hal-hal seperti itu dimanfaatkan tidak, atau dibayangkan tidak sebagai panduan untuk membangun model ekonomi yang lebih dekat dengan rakyat? Kan, belum. Kita masih memakai ukuran-ukuran yang tak peka terhadap praktik-praktik itu,” urai Alissa.
Andaikata gagasan itu diterapkan pada level kebijakan ekonomi, Alissa meyakini bisa memberikan manfaat bagi rakyat.
Politik kemanusiaan
Prinsip-prinsip kearifan lokal yang diungkapkan Alissa telah lama menjadi tema sentral dalam pemikiran Gus Dur. Buku Demokrasi Aja Kok Repot yang ditulis Nur Kholisoh (2012), antara lain, menceritakan konsep pribumisasi Islam yang disebutkan Gus Dur sejak tahun 1980. Tak beda dengan narasi Islam Nusantara yang digaungkan Nahdlatul Ulama (NU) tahun 2015, pribumisasi Islam yang digagas Gus Dur juga memanifestasikan ajaran Islam dalam konteks budaya lokal di Nusantara.
Dengan cara pandang serupa, Gus Dur melihat demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Demokrasi selaras dengan musyawarah yang dikenal dalam tradisi Islam dan pesantren.
Politik pun dipandang bukan semata-mata perebutan kekuasaan. Politik bagi Gus Dur hanyalah jalan untuk memastikan kemanusiaan, martabat, dan hakikat manusia itu terpenuhi. Hal ini hanya bisa tercapai dengan menerapkan prinsip keadilan, kesetaraan, pembebasan dari segala bentuk penindasan, serta persaudaraan.
Dalam konteks politik saat ini, Alissa, yang juga koordinator Gusdurian, melihat kontestasi yang terjadi tak sehat. Sentimen kebencian, permusuhan, penghinaan, dan pembunuhan karakter banyak dipakai untuk mengalahkan lawan politik. Koalisi dengan dasar kesamaan ideologi tak lagi ada dan digantikan semata hanya demi kepentingan. Integritas dengan mudahnya digadaikan.
”Dulu dihina-hina dan sekarang jadi teman. Dulu dicela, sekarang dipuja-puja. Kalau ini yang diteruskan, tak ada integritas dalam politik yang bisa kita pegang,” ujarnya.
Praktik politik demikian itu, menurut Alissa, jauh dari nilai- nilai yang diwariskan Gus Dur. Oleh karena itu, ia pun mengkritisi penggunaan nama Gus Dur semata untuk komoditas politik. Ia mengonfirmasi adanya persoalan yang belum selesai antara keluarga Gus Dur dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Alissa juga melihat saat ini NU diseret masuk ke dalam pusaran politik.
”Tahun 1984, Gus Dur dengan kiai-kiai susah payah mendekonstruksi fase perjalanan NU yang dekat dengan politik praktis untuk kembali ke khitahnya sebagai gerakan sosial kemasyarakatan. Kok, sekarang diseret-seret lagi untuk kepentingan elektoral?” tanyanya.
Dua jalur
Saat ini, keluarga Gus Dur belum menentukan pilihan untuk Pemilu 2019. Ada dua jalur yang akan ditempuh, yakni jalur politik praktis yang dipimpin Yenny Wahid dan jalur nonpolitik praktis yang dipimpin Alissa. Apa pun keputusan Yenny, akan didukung keluarga. Keputusan Yenny diambil setelah menerima masukan dari Sinta dan para kiai yang loyal kepada Gus Dur. Di sisi lain, jaringan Gusdurian tetap menempuh jalur di luar politik praktis.
Jika pilihan politik praktis sudah diambil, akankah Gusdurian tetap netral? ”Bagi kami itu tidak penting. Kami fokus merawat nilai-nilai yang diperjuangkan Gus Dur,” kata Alissa.
Enam penanggap yang hadir di acara Satu Meja memberikan tanggapan bervariasi atas sikap netral Gusdurian dan belum diambilnya sikap oleh keluarga Gus Dur. Mereka adalah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono; Ketua DPP Partai Demokrat Jansen Sitindaon; jurnalis senior Wahyu Muryadi; politisi PDI-P, Zuhairi Misrawi; Sekretaris Jenderal PKB Abdul Kadir Karding; dan pemerhati komunikasi politik Effendi Gazali.
Menurut Wahyu, sebaiknya keluarga Gus Dur tak mendorong salah satu pasangan calon. Demi kepentingan bangsa, keluarga Gus Dur seharusnya ada di atas semua golongan.
Sementara Ferry menilai, selama ini ada kedekatan antara keluarga Gus Dur dan Prabowo. Sebaliknya, Kadir menilai wajar saja jika kubu Prabowo-Sandiaga ingin mendekati keluarga Gus Dur, bahkan ingin merekrut Yenny sebagai anggota tim sukses. Namun, pintu bagi keluarga Gus Dur untuk mendukung Jokowi-Ma’ruf juga tidak tertutup.
Di mata Zuhairi, upaya meneruskan prinsip dan nilai-nilai Gus Dur telah ditunjukkan oleh pemerintahan Jokowi selama ini. Ditambah lagi pada Pilpres 2019 Jokowi didampingi ulama NU, yaitu Ma’ruf Amin.
Di atas itu semua, bagi Jansen, yang terpenting ialah pewarisan nilai-nilai Gus Dur, antara lain dalam kemajemukan, perlindungan kelompok tertindas dan minoritas, serta paham kebangsaan.
