SALZBURG, KAMIS — Para pemimpin Eropa sepakat untuk melakukan pembicaraan dengan pemerintah Mesir guna meminta bantuan mengerem banjir migran dari negara-negara Afrika. Isu migran telah membelah solidaritas negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa.
Menurut PM Austria Sebastian Kurz, yang selama enam bulan ke depan memegang kepresidenan UE, Mesir telah bersedia untuk meningkatkan intensitas pembicaraan dengan Uni Eropa. Selain Mesir, Kurz juga menggarisbawahi bahwa pembicaraan bisa diperluas dengan negara-negara Afrika Utara lainnya. Mesir dalam dua tahun terakhir dinilai sukses mengendalikan migran ilegal yang ingin menyeberang ke Eropa.
Kurz dan Presiden Dewan Eropa Donald Tusk akhir pekan lalu berkunjung ke Mesir dan bertemu dengan Presiden Abdel-Fattah el-Sissi. Keduanya memuji Sissi atas kebijakan migran yang diterapkan Mesir.
”Mesir telah membuktikan bahwa kebijakan itu efisien. Sejak 2016 mereka telah mencegah kapal-kapal berangkat dari Mesir ke Eropa dan kalaupun ada yang berhasil berangkat, petugas patroli Mesir menggiringnya kembali ke daratan,” kata Kurz kepada media.
Menurut Kurz, Mesir sekarang bersiap membicarakan kerja sama yang lebih intens dengan UE. ”Kita harus memanfaatkan kesempatan ini. Para pemimpin Eropa juga siap untuk melakukan pembicaraan dengan negara-negara Afrika Utara,” katanya.
Dalam penanganan masalah migran, dalam beberapa tahun terakhir UE telah melakukan kesepakatan bernilai miliaran dollar AS dengan para pemimpin di wilayah Mediterania, di antaranya dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Kesepakatan itu berhasil mengerem jumlah migran yang datang ke Eropa. UE juga telah melakukan kerja sama dengan Libya, tetapi hasilnya belum signifikan karena negara itu masih dilanda instabilitas.
”Saya yakin ini akan menjadi langkah lanjutan untuk memerangi migrasi ilegal, dan yang terpenting untuk memerangi bisnis penyelundupan manusia,” kata Kurz.
KTT para pemimpin Eropa di Salzburg ini juga digunakan untuk membangun kembali semangat konstruktif di antara para anggota yang luntur akibat perbedaan pandangan dalam penanganan isu migran.
Sejak April lalu, Italia, misalnya, berulang kali menolak kapal-kapal yang mengangkut ratusan imigran asal Afrika yang sudah memasuki perairan Italia. Para migran itu akhirnya ditampung di beberapa negara UE lain ataupun di Albania yang bukan anggota UE, berdasarkan kesepakatan ad hoc.
Saya yakin ini akan menjadi langkah lanjutan untuk memerangi migrasi ilegal, dan yang terpenting untuk memerangi bisnis penyelundupan manusia.
Ketidakmampuan UE untuk menyeimbangkan antara tanggung jawab terhadap migran dan beban bagi negara-negara yang menampungya telah memunculkan gelombang dukungan terhadap partai-partai ekstrem kanan di Eropa.
Bertanggung jawab
Presiden Perancis Emmanuel Macron yang menyetujui pembicaraan dengan negara-negara Afrika Utara tetap meyakini bahwa negara-negara seperti Italia, Spanyol, dan Yunani tetap harus bertanggung jawab atas migran yang masuk ke Eropa melalui negara mereka. Namun, ia juga menggarisbawahi pentingnya solidaritas negara-negara Eropa lainnya.
”Ada aturan soal ini dan kita harus menghormatinya. Kita harus melindungi warga negara kita. Namun, kita juga harus melakukannya dengan menghormati nilai-nilai kita. Juga, tanggung jawab tidak bisa ditegakkan jika tanpa solidaritas,” kata Macron yang didukung oleh para pemimpin dari Belgia, Luksemburg, dan Belanda.
Sejauh ini, negara-negara Eropa mewujudkan solidaritas dalam bentuk ”sumbangan uang” kepada negara-negara penampung migran, dan bukan berbagi beban dengan ikut menampung imigran. (AP/AFP)