JAKARTA, KOMPAS - Proses ganti rugi bagi korban salah tangkap oleh penegak hukum sulit direalisasi. Walaupun hak ini diatur Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, kenyataannya, korban salah tangkap ataupun peradilan sesat tetap terabaikan dan hak-haknya tak bisa dipenuhi.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Arif Maulana, Jumat (21/9/2018), di Jakarta, mengatakan, negara selama ini lalai memberikan ganti rugi korban salah tangkap oleh penegak hukum. Padahal, korban salah tangkap tak hanya mengalami kerugian finansial, tetapi juga fisik dan psikis akibat prosedur penyelidikan atau penyidikan yang tak jarang disertai penyiksaan.
Kemarin, LBH Jakarta memenangi gugatan nonlitigasi melawan Kementerian Keuangan yang sidangnya digelar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kemenkeu diwajibkan membayar ganti rugi masing-masing Rp 36 juta kepada dua pengamen Cipulir yang menjadi korban salah tangkap, dua tahun lalu. Andro Supriyanto dan Nurdin Prianto sebelumnya dituduh membunuh, tetapi tak terbukti. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan Andro dan Nurdin berhak memperoleh masing-masing Rp 36 juta.
”Dua tahun Andro dan Nurdin dimenangkan pengadilan, tetapi realisasi pencairan ganti rugi sulit dilakukan. Alasannya karena ada penggantian aturan dari yang lama menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2015 soal ganti rugi korban salah tangkap. Sayangnya, Kemenkeu beralasan belum punya aturan pelaksana sehingga ketentuan itu belum diterapkan,” kata Arif.
Peraturan lama, uang ganti rugi bagi korban hanya sekitar Rp 3 juta. Adapun dalam aturan yang baru, ganti rugi yang dituntut bisa Rp 600 juta. Kendati demikian, di luar nominal ganti rugi yang diterima korban, pemerintah seharusnya meningkatkan profesionalitas penegak hukum saat menjalankan tugasnya.
Penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, sering dilaporkan menggunakan pengakuan sebagai dasar menuduh seseorang menjadi tersangka suatu kejahatan. Namun, proses mencari pengakuan tak jarang menerapkan kekerasan atau penyiksaan.
Dalam putusan gugatan nonlitigasi ke Kemenkeu, pemerintah wajib membayar ganti rugi paling lambat 30 Desember 2018. Anggota Komisi Nasional HAM, Choirul Anam, mengatakan, penyiksaan dalam proses hukum merupakan salah satu pelanggaran HAM yang menjadi konsen lembaganya. Hal itu berkait erat dengan penegakan hukum yang fair atau adil.