Kisah Pasar Malam ”Naik Kelas” (1)
Pasar malam yang dekat dengan masyarakat bawah kini naik kelas. Keramaiannya dapat dinikmati di tempat yang lebih bersih, tetapi masih ramah di kantong. Karena itu, daya tariknya makin luas.
Kebahagiaan pengunjung terlihat di area parkir Plaza Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Banten. Rabu (19/9/2018) malam itu rasanya seperti kembali ke masa kecil saat orangtua mengajak jalan anak-anaknya ke sana. Dian Daniati (29) tak henti-henti mengabadikan momen ketika kedua anaknya menaiki bianglala dengan telepon seluler.
Putrinya yang berusia tiga tahun melambaikan tangan dan berteriak kegirangan saat naik turun gondola bersama kakak laki-lakinya yang berusia delapan tahun. Warga Pondok Ranji itu merasa lebih segar menikmati hiburan di luar ruangan malam itu.
Wahana bianglala, komidi putar, ombak, pontang-panting, dan sejumlah wahana lain sudah jarang ditemukan di kampung-kampung. ”Sekarang saatnya anak-anak saya yang merasakan serunya hiburan seperti ini,” kata Dian.
Wahana sederhana itu cukup membuatnya bahagia dengan Rp 5.000 hingga Rp 35.000 setiap kali menikmati wahana berbeda.
Pada masa anak-anak, Dian mengenal pasar malam tidak semeriah saat ini. Ketika itu, kondisinya tidak teratur, pedagang berjejalan di sembarang tempat, dan sebagian wahana permainan berkarat.
Di area yang sama, Soleh dan keluarganya, warga Jakarta Selatan, terlihat gandrung dengan permainan kora-kora dan rumah hantu. Kedua anaknya yang berusia dua tahun dan enam tahun merengek mencoba wahana itu walaupun sudah dua kali main ke sana.
Soleh tidak keberatan membawa anak-anak mereka ke sana. Sejumlah permainan, seperti melempar kaleng, capit boneka, melempar bola basket, dan trampolin, dinilai bisa melatih ketangkasan anak-anaknya. Aktivitas seperti ini lebih menarik ketimbang duduk berjam-jam di depan televisi atau gawai tanpa bergerak.
Mengabadikan momen
Tidak hanya aneka wahana permainan, area pasar malam juga menarik untuk mengabadikan momen. Sebidang tempat berlatar teras rumah bergaya Eropa, mobil karavan dua dimensi dengan jendela terbuka, dan bingkai foto berbentuk bintang raksasa menjadi tempat terbaik untuk mengambil foto.
Begitu juga sejumlah tiang papan jalan dengan nama yang tidak lazim, di antaranya ”Jl Kemana Aja”, dilengkapi teks di bawahnya, ”Yang penting berdua”. Ada juga papan yang menyebutkan nama-nama wilayah di Jakarta, seperti Kebayoran, yang dipanjangkan menjadi ”Kebayang Kamu Seorang”.
Penanda-penanda kecil ini menarik perhatian pengunjung. Sebagian dari mereka mengabadikan tempat itu dengan jepretan kamera ponsel.
Bok Welly Wijaya, Presiden Direktur Rockwell Star Indonesia Entertainment, penyelenggara pasar malam, melihat adanya kebutuhan hiburan luar ruang seperti itu. Hadir sejak 2017, dia menggelar pasar malam dengan konsep ”Mamam, Main, dan Motret”.
”Di pasar malam seperti ini, sebagian orang datang untuk bernostalgia dengan wahana konvensional. Kami juga melihat banyak anak muda menyukai lokasi foto untuk diunggah ke media sosial,” tuturnya. Menurut Welly, kegemaran warga membagikan momen di media sosial juga turut membantu mempromosikan bisnisnya.
Memperbaiki citra
Tren pasar malam yang kembali tumbuh menuntut penyelenggara memperbaiki citra hiburan rakyat itu. Welly ingin meninggalkan kesan ke pengunjung bahwa pasar malam itu aman, bersih, dan tetap terjangkau. Menurut Welly, pasar malam yang berkualitas menjadi nilai jual menarik bagi pengunjung.
Petualangan kecil di area itu makin lengkap dengan wahana virtual reality (VR) 9 dimensi. Wahana ini dihadirkan untuk mengikuti tren permainan zaman digital. Pengguna bisa menyaksikan video VR 360 derajat menggunakan kacamata khusus yang terhubung dengan kursi gerak yang memberi pengalaman dimensi tambahan, seperti getaran dan angin.
Kondisi pasar malam saat ini berbeda dari pasar malam pada zaman dahulu. Jejak pasar malam di Indonesia bisa dirunut sejak awal abad ke-20 ketika Gubernur Jenderal AWF Idenburg merintis pameran pertama dan terbesar yang bernama Tentoonstelling di Semarang tahun 1914 (Kompas, 3/7/2006).
Pameran diperingati sebagai 100 tahun kembalinya kedaulatan Belanda pada tahun 1913 serta jatuhnya Hindia Belanda dari tangan Inggris ke Belanda. Saat itu pameran digelar dengan memamerkan tanaman perkebunan yang diekspor dari Jawa, seperti tembakau, kopi, teh, gula, dan karet, serta barang hasil kerajinan tangan dan hasil industri pabrik.
Pasar malam itulah yang kemudian berkembang di Pulau Jawa dengan beragam pasar rakyat yang mengangkat seni, budaya, dan aneka produk barang serta makanan khas daerah. Pada 1967, Gubernur Jakarta Ali Sadikin mengumpulkan semua penyelenggara pasar malam di Jakarta pada hari jadi kota Jakarta tanggal 22 Juni. Langkah itu menjadi cikal bakal acara Jakarta Fair yang kemudian ditetapkan sebagai agenda tahunan Pekan Raya Jakarta.
Warga yang menikmati pasar malam di area parkir Plaza Bintaro Jaya tidak berpikir sejauh itu. Mereka hanya ingin pasar malam tetap dekat dengan warga meskipun kini mulai naik kelas. Pergantian zaman tidak seharusnya mengubah kecintaan warga pada tempat seperti itu. (Erika Kurnia)