Kontestasi politik menjelang Pilpres 2019 bisa mengabaikan konsistensi para pelaksana inpres moratorium perkebunan sawit. Presiden harus mengawasi pelaksanaan inpres ini oleh bawahannya.
JAKARTA, KOMPAS – Meski penerbitan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 mengenai moratorium perkebunan sawit disambut positif banyak pihak, Presiden diingatkan untuk serius menagih perkembangan moratorium dari bawahannya. Kontestasi politik menjelang Pilpres 2019 dikhawatirkan bisa mengabaikan konsistensi para pelaksana Inpres tersebut karena terjebak dalam dukung-mendukung calon presiden dan wakil presiden.
Waktu setahun mendatang ini krusial dan menentukan daya ungkit karena para pejabat menteri pelaksana Inpres saat inilah yang mememiliki pemahaman arti penting moratorium sejak awal. Usai pilpres dan apabila terjadi perombakan kabinet, pejabat baru membutuhkan waktu untuk melangkah.
Di sisi lain, inpres ini diberi batasan waktu selama tiga tahun. Artinya, dalam waktu maksimal tiga tahun mendatang, pelaksanaan moratorium agar menampakkan hasil signifikan atas berbagai karut-marut pengelolaan sumber daya hutan dan lahan serta produktivitasnya.
“Inpres moratorium (sawit) merupakan langkah awal yang cukup strategis untuk menyelesaikan silang sengkarut perizinan perkebuanan sawit termasuk tumpang tindih dan konflik tenuriual, dengan catatan para pejabat yang diberikan instruksi dapat dengan konsisten menjalankan instruksi tersebut,” kata Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Jumat (21/9/2018), di Jakarta.
Seperti diberitakan Presiden Joko Widodo – setelah ditunggu selama lebih dari 2 tahun – menandatangani Instruksi Presiden Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, pada 19 September 2018. Isinya memerintahkan Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Menteri Dalam Negeri, Gubernur, dan Bupati untuk menjalankan sejumlah instruksi.
Keterbukaan informasi
Konsistensi para menteri dan kepala daerah dalam menjalankan inpres ini diperlukan karena inpres juga menyasar evaluasi perizinan maupun keberadaan kebun-kebun sawit yang tak dilengkapi izin maupun izin pelepasan kawasan hutan. Hal ini tak mudah mengingat data Kementerian Pertanian menaksir sekitar 800.000 hektar kebun sawit berada di kawasan hutan.
Mengingat pekerjaan yang sangat besar ini, Teguh mendorong agar pelaksanaan inpres diiringi keterbukaan informasi dan pelibatan pemangku kepentingan, termasuk masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat. Langkah praktisnya, Kementerian Koordinator Perekonomian yang mendapat tugas membentuk tim kerja agar memasukkan unsur independen yang berisi perwakilan masyarakat sipil dan masyarakat adat.
Independensi tim kerja juga diperlukan mengingat inpres ini “mengganggu” oknum korporasi sawit yang selama ini menikmati hasil dari kebun yang belum dilepaskan dari kawasan hutan. Penguasaan kebun sawit oleh korporasi tersebut bisa secara langsung maupun melalui penguasaan tak langsung serta penguasaan ketergantungan petani kecil pada pabrik kelapa sawitnya.
Terkait keterbukaan informasi dan pelibatan masyarakat ini, Teguh juga menyoroti moratorium yang dikaitkan dengan kebijakan satu peta. Saat ini, kebijakan yang semula diharapkan bisa terbuka diakses masyarakat tersebut justru kian tertutup baik dari segi proses maupun kewenangan akses data, seperti diatur Keputusan Presiden Nomor 20 tahun 2018.
Legalitas perkebunan sawit
Secara terpisah, Penasehat Senior Yayasan Kehati Diah Suradiredja mengatakan Inpres 8/2018 yang disiapkan sejak pertengahan tahun 2015 ini memperlihatkan keseriusan pemerintahan Jokowi dalam menyelesaikan karut marutnya persoalan legalitas perkebunan sawit.
"Instruksi langsung kepada kementerian koordinasi bidang perekonomian dan beberapa kementerian teknis, untuk melakukan evaluasi merupakan langkah cerdas untuk membereskan persoalan deforestrasi, terutama perubahan penggunaan lahan yang sudah dimulai oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” kata dia. Karena itu, ia sepakat menyatakan kunci dari pelaksanaan instruksi ini adalah kepemimpinan dari masing masing kementerian dan pelaksanaan yang segera.
Selain itu, ia melihat inpres memperlihatkan perhatian pemerintah untuk menangani persoalan deforestasi melalui tinjauan kesesuaian hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit dengan peruntukan tata ruang, menanggulangi lahan terlantar dengan melakukan evaluasi realisasi pemanfaatan HGU perkebunan kelapa sawit, dan peralihan HGU kepada pihak lain tanpa pendaftaran Badan Pertanahan Nasional.
Inpres ini pun berpihak pada perlindungan dan pembangunan areal hutan yang bernilai konservasi tinggi/HCVF dari pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kepala sawit. Masih terkait keberpihakan pada hutan, Inpres ini juga mengharuskan pengembalian tanah yang berasal dari pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan sebagai kawasan hutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan apabila belum diproses dan/atau diterbitkan hak atas tanahnya.
Di sisi lain, inpres ini sejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan para pekebun dengan instruksi untuk melakukan percepatan penerbitan hak atas tanah pada lahan-lahan perkebunan kelapa sawit rakyat. Di antaranya, dengan memastikan 20 persen luas pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit dikelola masyarakat.