Pascaputusan uji materi PKPU Pencalonan Anggota Legislatif, MA diharap konsisten menerapkan hukum acara pengujian peraturan di bawah undang-undang.
JAKARTA, KOMPAS - Putusan uji materi Mahkamah Agung terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum yang melarang mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif secara tidak langsung mengubah hukum acara uji materi, baik di MA maupun Mahkamah Konstitusi. Konsistensi kedua lembaga peradilan itu kini dipertanyakan publik mengingat Pasal 55 UU MK menyatakan, MA harus menghentikan sementara pengujian peraturan di bawah undang-undang bila UU terkait sedang diuji di MK.
Ketentuan di dalam UU MK itu ditegaskan kembali di dalam Putusan MK Nomor 93/PUU-XV/2017 yang menyatakan penghentian pemeriksaaan uji materi di MA bermakna “penghentian sementara.” Baik UU MK maupun putusan MK menyatakan yang harus dihentikan sementara ialah pengujian UU, bukan pasal per pasal. Namun, dalam pertimbangan putusan MA disebutkan, salah satu alasan majelis hakim tidak meneruskan penundaaan perkara uji materi itu lantaran adanya surat dari MK.
“Setelah Mahkamah Agung meneliti secara seksama Surat Pemberitahuan dari Mahkamah Konstitusi Nomor 24/HK.06/9/2018, tanggal 12 September 2018, perihal permintaan data, ternyata tidak ada pasal atau norma yang berkaitan dengan dasar pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah Agung, baik secara formil maupun materiil,” demikian bunyi pertimbangan MA.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas Feri Amsari, Jumat (21/9/2018) di Jakarta mengatakan, Pasal 55 UU MK dan Putusan MK sebenarnya telah jelas menyatakan frasa “UU” bukan pasal atau norma yang menjadi pertimbangan bagi MA harus menangguhkan atau menghentikan sementara pemeriksaan uji materi di MA.
“Selama ini mekanisme uji materi di MA mengikuti ketentuan itu. Namun, dalam perkara uji materi PKPU, hal itu tidak dilakukan. Artinya ada pengabaian Pasal 55 UU MK. Kalau ada preseden semacam ini, MA harus konsisten. Artinya jangan nanti kalau ada persoalan serupa MA bersikap lain. Kalau MA nanti tidak konsisten, artinya putusan uji materi kemarin (PKPU) itu tendensius, dan bukan berdasarkan semangat untuk mencari keadilan,” katanya.
Sikap MA yang tetap memutus uji materi sekalipun di saat yang sama ada pengujian terkait UU yang sama di MK menjadi rujukan baru bagi mekanisme uji materi di MA dan MK. Kendati mekanisme itu tidak sesuai dengan Pasal 55 UU MK dan putusan MK, menurut Feri, konsistensi dalam menerapkan mekanisme itu harus dilakukan oleh kedua lembaga, sehingga tidak menimbulkan kebingungan publik dan pencari keadilan.
Bila hal itu tidak dilakukan, inkonsistensi hakim disorot. Begitu pula dari sisi MK.
Hukum acara
Dihubungi terpisah, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengatakan, isi surat yang menjadi rujukan bagi MA untuk memutus lebih dahulu uji materi PKPU tak secara eksplisit membolehkan MA untuk memberikan putusan atas uji materi. Sebab, surat dari MK itu merupakan surat balasan setelah ada surat dari MA. Dalam balasannya, MK membenarkan ada uji materi terhadap UU Pemilu, serta rincian pasal-pasal yang diujikan.
Isi surat yang menjadi rujukan bagi MA untuk memutus lebih dahulu uji materi PKPU tak secara eksplisit membolehkan MA untuk memberikan putusan atas uji materi
Mengenai apakah keluarnya putusan MA yang mendahului proses uji materi di MK akan menjadi preseden buruk bagi mekanisme uji materi di kedua lembaga, Palguna yang kini ditunjuk sebagai juru bicara MK mengatakan, tidak akan sampai sejauh itu.
“Saya yakin hal itu tidak akan terjadi selama lembaga peradilan mampu menjaga independensinya,” katanya.
Menurut Palguna, bagaimana pun hukum acara harus ditaati. Putusan MA yang pertimbangannya salah satunya merujuk pada surat MK itu adalah tafsir hakim MA sendiri. “Intinya, bukan MK yang berkirim surat, melainkan MK hanya menjawab surat dari MA,” katanya.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Abdullah mengatakan, hakim MA berbicara melalui putusannya, sehingga apapun yang menjadi pertimbangan hakim dalam putusan itu harus dihormati.