Lukisan Bisa Jadi Sarana Diplomasi, Meningkatkan Citra Negara
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Lembaga pemerintahan dinilai belum memanfaatkan lukisan sebagai aset untuk meningkatkan citra negara. Karena itu, setiap kementerian diimbau untuk melibatkan seni lukis dalam berbagai kegiatannya.
Dalam acara peluncuran buku Sukarno’s Favorite Painter, Jumat (21/9/2018) malam, sang penulis Mikke Susanto menyatakan, peran lukisan dalam urusan kenegaraan melemah secara drastis sejak Soekarno turun dari kursi kepresidenan. Padahal, di masa pemerintahannya, Soekarno dapat memanfaatkannya dalam berbagai kesempatan, termasuk diplomasi antarnegara.
“Seandainya presiden memberi pernyataan di televisi dan di belakangnya ada lukisan, dunia internasional dan para pemimpin negara lain pasti melihat lukisan tersebut. Ini bisa menjadi soft power buat Indonesia dalam bentuk kebudayaan. Khalayak dalam dan luar negeri bisa mengenal kebudayaan Indonesia lewat lukisan-lukisan tersebut,” kata Mikke.
Sebagai kepala negara, Soekarno berada di jajaran pecinta seni lukis seperti Winston Churchill dan bahkan Adolf Hitler. Pengetahuan Soekarno tentang seni lukis membantunya membangun komunikasi dengan para pemimpin dari negara lain.
“Presiden Soekarno bisa menyentuh sisi pribadi tamu-tamu kenegaraan yang datang ke istana dengan membicarakan lukisan sambil mengamatinya,” kata Mikke.
Dalam bukunya, Mikke menjelaskan, Soekarno telah aktif melukis sebelum Indonesia merdeka, tepatnya antara 1933-1933 saat ia berkuliah di Technische Hoogschoole (sekarang Institut Teknologi Bandung) serta saat dibuang ke Ende, Flores. Kebanyakan lukisannya menggambarkan pemandangan alam dengan menggunakan cat air.
Saat terpilih menjadi presiden RI, Soekarno berusaha mengisi dinding-dinding Istana Merdeka dengan berbagai lukisan. Namun, saat itu negara tidak memiliki cukup uang untuk membeli lukisan. Karena itu, Soekarno berusaha mendapatkan lukisan dengan uangnya sendiri, beberapa diperolehnya dari pelukis-pelukis ternama dengan cara kredit. Kini, tidak kurang dari 3.000 lukisan koleksi pribadi Soekarno tersebar di enam istana kenegaraan di Indonesia.
“Di Istana Gedung Agung Yogyakarta, misalnya, ada 200 lukisan yang dipajang. Di gudang ada lebih banyak lagi. Totalnya ada 700 di Jogja,” kata Mikke.
Karena kecintaannya pada lukisan, semasa pemerintahannya, Soekarno mengangkat pelukis Dullah sebagai pelukis Istana. Mikke mengatakan, Dullah digaji dengan uang pribadi Soekarno meskipun bekerja di Istana.
"Setelah Dullah mengundurkan diri, Lee Man Fong dan Lim Wasim menjadi pengganti dan keduanya digaji sebagai pegawai Sekretariat Negara,” kata Mikke.
Setelah Presiden Soeharto naik menggantikan Soekarno, posisi pelukis istana dihapus. Kritikus seni Agus Dermawan mengatakan, kedekatan dengan Soekarno berimbas buruk bagi para pelukis, karena mereka dengan mudah dicap Soekarnois.
“Lee Man Fong kabur ke Singapura, sedangkan Lim Wasim menyamar dengan membuka toko roti kecil-kecilan. Kalau melukis, dia harus memakai nama samaran,” kata Agus.
Beberapa presiden seperti Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo, kata Mikke, juga mengoleksi lukisan meskipun jumlahnya terpaut jauh di bawah koleksi Soekarno. Ia menilai, lukisan tidak lagi memainkan peran sebesar saat kepemimpinan Soekarno.
Mikke berharap, setiap kementerian dapat kembali memanfaatkan lukisan sebagai aset kebudayaan bangsa, misalnya melanjutkan pameran lukisan Istana seperti yang dilaksanakan di Galeri Nasional Agustus 2018 lalu.
“Keterlibatan pelukis di segala bidang itu sangat dibutuhkan. Setiap kementerian bisa melakukan pekerjaannya melalui seni budaya, tidak cuma Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Di samping itu, jika dipamerkan, nilai lukisan akan semakin meningkat sehingga juga berpengaruh bagi pelukis Indonesia,” kata Mikke.
Ia mencontohkan, lukisan Raden Saleh yang berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro bernilai Rp 50 miliar pada 2010. Setelah pameran koleksi Istana tahun 2016, nilainya melonjak menjadi Rp 250 miliar.
Dekat dengan pelukis
Agus mengatakan, Soekarno memang sosok pemimpin yang terkenal dekat dengan para pelukis. Selain dengan Dullah, Lee Man Fong, dan Lim Wasim, Soekarno juga dekat dengan pelukis lain seperti Basoeki Abdullah, Hassan Djafar, Affandi, Rusli, Henk Ngantung, Trubus, dan Sudjojono. Dalam kedekatan ini, Sukarno tetap kritis terhadap karya-karya mereka.
“Bung Karno sangat menyayangi para pelukis seperti Affandi dan Hasan Djafar. Namun, ia tidak begitu menyukai lukisan-lukisan yang abstrak, misalnya karya Affandi. Para pelukis ini akhirnya saling iri hati berebut simpati Soekarno,” kata Agus.
Buku Sukarno’s Favorite Painter karya Mikke mengulas tentang hubungan Soekarno dengan lebih dari 30 pelukis selama masa perjuangan kemerdekaan hingga 1965. Namun, jumlah tersebut hanya sebagian kecil dari 250 pelukis yang disebut dalam buku Dullah dan Lee Man Fong tentang koleksi lukisan Soekarno.
Mikke berharap, buku yang berawal dari riset akademisnya di Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini dapat menjadi acuan bagi generasi muda untuk mengapresiasi karya seni, terutama lukisan para seniman dalam negeri. Ia juga berharap bukunya memicu kemunculan buku-buku lain yang menjelaskan peran ratusan pelukis dalam negeri yang belum dibahasnya.(KRISTIAN OKA PRASETYADI)