Ketidakpastian perekonomian global terus berlanjut. Kini, gejolak bertambah sebab Amerika Serikat kembali menetapkan kenaikan tarif senilai 200 miliar dollar AS terhadap barang-barang asal China per 24 September. Perang dagang antara kedua negara semakin memanas setelah dimulai sejak awal 2018.
Indonesia dan negara emerging countries (negara yang sedang bergeliat dengan pertumbuhan ekonomi tinggi) lainnya harus bersiap menghadapi dampak negatif yang dapat muncul dari perang dagang yang semakin memburuk. Kewaspadaan ekstra diperlukan. Apalagi bank sentral AS, The Federal Reserve System, terus menaikkan suku bunga acuan sehingga investasi portofolio beralih ke negara besar itu.
Menteri Perdagangan Indonesia Periode 2004-2011 Mari Elka Pangestu mengemukakan beberapa pandangannya terkait dengan perang dagang AS-China itu.
Berikut petikan wawancara Kompas dengan Mari Elka Pangestu di Jakarta, Kamis (20/9/2018).
Tanya: Bagaimana dampak perang dagang AS-China terhadap Indonesia?
Jawab: Mungkin dampak langsung tidak ada saat ini, tetapi pada akhirnya Indonesia dan seluruh dunia akan ikut terpengaruh. Hal itu karena perang dagang menciptakan ketidakpastian perdagangan dan investasi global.
Sangat disayangkan karena keadaan sebenarnya telah membaik pada 2017 karena perekonomian AS membaik sehingga ekspor Indonesia ikut meningkat. Kondisi itu berubah pada Januari 2018 ketika perang dagang dimulai.
Ketidakpastian yang ada membuat permintaan barang dari China turun. Kalau ekonomi China terpengaruh, perdagangan Indonesia pasti ikut terpengaruh karena China merupakan mitra dagang utama Indonesia.
Tanya: Ketidakpastian apa saja yang dapat terjadi?
Jawab: Perang dagang memicu gangguan terhadap supply chain perdagangan global. Misalnya, perusahaan otomotif Ford yang berproduksi di China untuk diekspor ke AS akan menghentikan produksinya sebab ikut terkena kenaikan tarif impor 25 persen. Ford bisa saja mengalihkan lagi produksinya di AS agar tidak terkena tarif impor, tetapi harga jualnya akan ikut meningkat.
Beberapa hari yang lalu, Chairman dan CEO General Electric John L Flannery datang ke Indonesia (GE adalah perusahaan multinasional di bidang teknologi asal AS). Ia menceritakan, GE memindahkan pabriknya ke Meksiko untuk melayani pasar ekspor di luar AS. Jika tidak, ekspor barang ke China akan terkena tarif.
Perusahaan motor Harley Davidson juga terpengaruh. Mereka pindah ke Thailand. Bisa dilihat ada pengaruh terhadap rantai perdagangan dan juga investasi. Sebagai akibat, para investor juga bersikap wait and see, melihat Presiden AS Donald Trump menunjukkan gelagat untuk kembali menaikkan tarif impor lagi.
Tanya: Mengapa AS terus bersikap demikian?
Jawab: Kalau kita lihat dampak lebih lanjutnya, apa yang AS lakukan sebenarnya melanggar kebijakan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). China dan Uni Eropa telah membawa permasalahan ini ke WTO untuk mengkaji kembali kebijakan AS, seperti kenaikan tarif impor baja sebesar 25 persen dan aluminium 10 persen pada Maret 2018.
AS berkilah, kenaikan tarif tersebut untuk menjaga keamanan negara. Padahal, yang dimaksud dengan keamanan negara adalah negara sedang berada dalam kondisi perang. Ini memicu pertanyaan apakah AS peka dalam kasus ini.
Dari sisi AS, Trump telah berulang kali menyatakan ketidakpercayaan terhadap WTO. Ada analisis yang mengatakan AS sebetulnya melakukan hal ini bukan hanya karena masalah defisit perdagangan dengan China, melainkan karena China selama ini banyak melakukan hal yang non-market oriented. Artinya, AS dan Eropa merasa China melakukan kebijakan yang tidak dalam ranah persaingan sehat.
China memiliki peraturan transfer of knowledge dan intellectual property right. Ada perusahaan China di AS yang terkena sanksi karena kasus pencurian hak kekayaan intelektual (HKI). WTO tidak memiliki aturan terkait dengan masalah itu sehingga AS tidak percaya pada organisasi tersebut.
Indonesia harus waspada. Kalau fungsi WTO terganggu, kita pun bisa terkena kebijakan unilateral seperti AS-China. AS bisa kenakan tarif kepada kita dan Indonesia tidak bisa apa-apa.
Tanya: Berapa lama perang dagang AS-China akan terjadi?
Jawab: Banyak pihak yang tidak bisa prediksi. Pada 2017, kedua negara itu diperkirakan bisa menemukan jalan keluar melalui dialog. Namun, Trump justru mengumumkan kenaikan tarif pada awal 2018. Awalnya tarif impor tersebut kecil dan kemudian membesar. China juga tidak mau mengalah, malah melakukan retaliasi.
Kita belum tahu jalan keluar seperti apa yang bisa ditawarkan, mengingat Agustus lalu kita melakukan dialog bilateral tanpa solusi. Kalau benar AS akan kembali menaikkan tarif lagi, dampak ketidakpastian akan semakin tinggi terhadap perekonomian dunia dan emerging countries yang akan kena.
Perlu diingat, AS tidak percaya pada WTO. Salah satu jalan keluar yang muncul dalam dialog pada Agustus lalu adalah memperbaiki aturan WTO. Negara lain, seperti Jepang dan Uni Eropa, lebih baik membawa isu tersebut untuk didiskusikan dengan WTO, toh negara lain ada kepentingan untuk itu.
Kalau itu terjadi, bisa saja perang dagang belum mereda. AS mungkin saja ingin melihat hasil dari perubahan kebijakan WTO. Tetapi, minimal itu bisa meredakan keresahan.
Tanya: Tindakan apa saja yang bisa dilakukan Indonesia saat ini?
Jawab: Seperti yang pernah terjadi sebelumnya, setiap kali akan ada restriksi yang dihadapi China, ekspor barang ke AS berkurang. China harus mencari pasar lain.
Indonesia tidak melarang impor, tetapi kalau ada banjir barang tertentu Indonesia harus bersiap investigasi dumping. Itu untuk mencegah barang dari China masuk ke pasar Indonesia untuk kemudian dipasarkan ke AS.
Di sisi yang lain, Indonesia bisa mengekspor jenis komoditas yang dikenakan tarif oleh AS kepada China, seperti tekstil, otomotif, dan elektronik. Kita seharusnya bisa menarik investasi penanaman modal asing (PMA) karena supply chain akan berubah. Jadi, kembali lagi pada perbaikan iklim investasi bangsa.