Manusia tanpa etika adalah binatang buas yang lepas berkeliaran(Albert Camus, 1913-1960)
Suara genderang perang melawan korupsi sayup-sayup makin menghilang, meninggalkan sunyi di seantero negeri. Harapan pada Mahkamah Agung pupus sudah ketika hasil uji materi Peraturan KPU No 26/2018 tentang Pencalonan Anggota DPD serta Peraturan KPU No 20/2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD, menganulir larangan bekas narapidana korupsi untuk menjadi calon anggota legislatif. Padahal, itu adalah terobosan KPU untuk mencegah bekas napi koruptor melenggang menjadi “anggota terhormat” di DPR/DPRD. Sungguh sayang, MA menyatakan larangan bekas napi perkara korupsi menjadi caleg bertentangan dengan UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Namun, kita menghormati putusan MA karena hidup di negeri hukum. Filsuf Thomas Aquinas (1225–1274) menyebut beberapa jenis hukum: hukum abadi (kebijakan sang pencipta), hukum kodrat (bersandar pada moral, sesuai martabat), dan hukum manusia (hukum positif penerapan dari prinsip-prinsip hukum kodrati). Hukum positif adalah pernyataan konkret yang rinci tentang hukum kodrat yang diberikan kepada manusia melalui kodrat rasionalnya. Hukum kodrat berlaku untuk semua orang, untuk mencari kebaikan dan menghindari keburukan.
Tak heran banyak pihak berpendapat, ini bukan cuma problem hukum, tetapi juga persoalan etika dan moralitas. Semangat membersihkan semua institusi negara dari politikus dan pejabat busuk merupakan tanggung jawab moral atau etis sekarang ini. Dengan pertimbangan etis, dapat diperjelas mana perbuatan mulia dan mana perbuatan tercela. “Etika adalah mengetahui perbedaan antara apa yang dilakukan dengan hak yang dimiliki dan apa yang benar untuk dilakukan,” ujar Potter Stewart, hakim agung yang bertugas di MA Amerika Serikat pada 1958-1981.
Dan, “manusia yang tidak memiliki etika,” kata filsuf Albert Camus (1913-1960), “ibarat binatang buas yang dilepaskan berkeliaran”. Berharap pada partai politik, bukan saja keliru tetapi juga sia-sia. Selama ini berulang kali harapan di pundak parpol, tetapi berulang kali pula bangsa ini dikhianati. Berapa banyak pakta integritas dibuat dan slogan melawan korupsi dikumandangkan, tetapi berkali-kali pula politikus busuk ditangkapi. Belum apa-apa, begitu putusan MA membuka peluang untuk bekas napi korupsi menjadi caleg, semua politikus yang tadinya tertahan tiba-tiba bermunculan.
Sekali lagi, berharap pada parpol ibarat menangkap asap. Sulit memegang komitmen parpol, kecuali dalam bentuk slogan dan kampanye politik. Seharusnya parpol dapat langsung menolak mantan napi korupsi, tidak berlindung dengan putusan MA. Kalau mereka yang “tercela” punya kans menduduki kursi terhormat, publik berteriak buat apa surat keterangan catatan kepolisian (SKCK)?
Nah, itulah, Indonesia hari ini adalah potret yang karut-marut. Ketidakpercayaan semakin menguat. Lembaga semulia MA juga baru saja tercium aroma tak sedap. Dua pekan silam, Komisi Yudisial menerima laporan bahwa jika ada kunjungan pimpinan MA ke daerah, pengadilan di daerah harus menanggung biayanya. Misalnya pengadilan tinggi dimintai uang Rp 8 juta dan pengadilan kelas 1B dipungut Rp 10 juta. Modusnya, uang dibawa kurir dan tidak ada tanda terima. Tak hanya itu, KY juga menerima keluhan hakim yang terbebani iuran anggaran turnamen tenis rutin yang digelar Persatuan Tenis Warga Pengadilan (PTWP). Kita ingin lembaga mulia itu berwibawa, tetapi aroma tak sedap itu membuat hati bertanya-tanya.
Masih pada hari-hari belakangan ini, terungkap pula sel tahanan mantan Ketua DPR Setya Novanto yang berbeda dengan sel napi lain. Ketika Ombudsman melakukan inspeksi mendadak di LP Sukamiskin, Bandung, pada 13 September lalu, ternyata sel Novanto lebih luas dan lebih mewah dibanding sel lainnya: ada kasur empuk, meja kerja, kloset duduk, rak buku, exhaust fan. Inilah nasib tahanan korupsi di negeri ini, tetap enak dan tetap “berkuasa”. Padahal baru Juli lalu, KPK membongkar jual-beli fasilitas sel Sukamiskin dan menangkap Kepala LP Wahid Husein. Lalu di mana pembenahannya, perbaikan mental manusianya?
Di negara lain, barangkali sudah banyak pejabat/petugas mundur atau dicopot karena dianggap tidak becus. Entah bagaimana memperbaiki negeri tatkala ada 2.357 aparatur sipil negara (ASN) yang berstatus terpidana korupsi belum juga dipecat dan masih menerima gaji bulanan. Publik juga menuntut kejelasan kasus 3.226 unit barang milik Kementerian Pemuda dan Olahraga yang diminta untuk dikembalikan dari mantan Menpora Roy Suryo. Dan, korupsi berjamaah terus merajalela seperti di DPRD Kota Malang baru-baru ini.
Inilah negeri kita sekarang. Ketika manusianya tuna etika, mereka tidak ubahnya binatang buas yang rakus dan kejam. Berkeliaran di mana-mana.