Peserta Didik Membutuhkan Pengetahuan Akademis dan Moral
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam proses belajar, seorang anak didik membutuhkan pendidikan yang mampu meningkatkan pengetahuan dalam bidang akademis dan moral. Keduanya dibutuhkan agar mereka tidak hanya berkembang dari sisi intelektual, tetapi juga memiliki rasa empati terhadap orang lain.
Kedua nilai tersebut dikembangkan oleh Singapore International Foundation (SIF) di Indonesia dan Singapura. Sejak 26 tahun lalu, SIF telah berinteraksi dengan masyarakat Indonesia dari berbagai latar belakang untuk saling berbagi ilmu, keahlian, dan sumber daya.
Tenaga Spesialis Pendidikan pada Singapore International Volunteer Teguh Daniel Tampemawa, Sabtu (22/9/2018), mengatakan, pihaknya saling berbagi untuk melengkapi satu sama lain. “Cara pembelajaran kami tidak hanya fokus pada konten, tetapi melibatkan aktivitas,” kata Teguh dalam SIF Connects di Jakarta, Sabtu.
Ia menjelaskan, dalam proses belajar mengajar, murid dididik untuk memiliki kemampuan bekerja sama atau berkolaborasi, diskusi, dan mengatasi perbedaan pendapat. Murid diberikan kesempatan untuk saling mengajar satu dengan yang lainnya. Ketika ada konflik, guru berperan dalam memberikan jalan keluar.
Kegiatan tersebut akan membuat peserta didik diharapkan dapat mengelola perbedaan dan saling mengerti. Mereka dapat saling memberikan contoh untuk mengatasi kendala yang ada.
Bagi peserta didik dari Indonesia, program ini dapat membantu mereka belajar teknologi yang telah berkembang di Singapura. Begitu juga dengan peserta didik dari Singapura, mereka dapat belajar budaya dan karakter masyarakat Indonesia yang mengutamakan gotong-royong.
Kepala Sekolah SMA Negeri 2 Padalarang, Bandung Barat, Jawa Barat Dedeh Suatini, menceritakan, ia menerapkan proses pengajaran menggunakan teknologi yang diajakarkan SIF sesuai dengan kurikulum yang ada di Indonesia.
Ia menggunakan teknologi digital dalam proses pembelajaran. Sebagai contoh, ia menggunakan video pembelajaran. Murid dapat belajar dari video itu tanpa harus ada guru. Fungsi guru sebagai fasilitator yang membantu murid dalam menganalisa.
Peserta didik diberikan kebebasan dalam berkreativitas. Penggunaan teknologi digital dalam proses belajar mengajar dapat membantu murid belajar memanfaatkan teknologi yang ada di sekitarnya. Cara tersebut akan membuat murid menjadi tidak canggung ketika dihadapkan dengan teknologi digital.
Sementara itu, peserta didik dari Singapura dapat belajar keanekaragaman budaya dan lingkungan hidup yang ada di Indonesia. Mereka dapat saling bertukar gagasan dan mempelajari cara hidup orang Indonesia.
Pendiri Panti Asuhan Roslin di Kupang, Nusa Tenggara Timur Budi Soehardi menceritakan proses kerja samanya dengan SIF. Ia mengatakan, banyak hal yang belum pernah dilihat peserta didik dari Singapura ketika berada di Indonesia.
Mereka kagum dengan kekayaan budaya dan keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia. “Mereka belajar budaya gotong-royong dari masyarakat Indonesia,” tutur Budi.M Nunung Kurniawan menambahkan, bagi peserta didik dari Singapura, gotong-royong merupakan sebuah budaya yang hanya ada di Indonesia. Budaya tersebut memiliki nilai yang luhur dan memberikan wawasan untuk bertingkah laku yang lebih baik.
Pengetahuan tersebut sangat berguna bagi pelajar Singapura agar dapat memiliki kehidupan sosial yang lebih baik. Menurut Teguh, pendidikan yang berkarakter dapat membuat peserta didik sukses dalam berkarir dan berkehidupan sosial.
Literasi
Bagi Indonesia, kerja sama ini juga membantu mengatasi ketertinggalan dari negara maju terkait dengan minat baca. “Literasi kita masih lemah sehingga dibutuhkan model yang mampu menjadi motivasi untuk meningkatkan minat baca tersebut,” kata Dedeh.
Menurut Dedeh, program perpustakaan keliling Words on Wheels (WOW) yang dibuat SIF dapat mengatasi lemahnya minat baca pelajar Indonesia. Melalui program ini, mereka mendatangi beberapa sekolah dalam periode harian per minggu.
Para siswa dari berbagai latar belakang sosial dan ekonomi dapat mengakses seluruh bahan bacaan. Perpustakaan ini memiliki 1.000 buku berbahasa Inggris dan Indonesia yang dilengkapi dengan internet dan fasilitas multimedia. Kegiatan ini telah diadakan di Bandung dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Para relawan Singapore International Volunteers (SIV) juga memperkenalkan perangkat pembelajaran interaktif bagi anak-anak. Selain itu, mereka memberikan pelatihan untuk staf dan pustakawan.