Para caleg pada Pemilu 2019 lebih memilih model kampanye dari rumah ke rumah daripada pertemuan akbar. Politik uang diduga akan lebih massif.
JAKARTA, KOMPAS - Para calon anggota legislatif akan mengutamakan pendekatan personal, seperti mendatangi satu per satu rumah pemilih, daripada mengumpulkan massa dalam pertemuan akbar pada Pemilu 2019. Namun, strategi itu berpotensi mendorong biaya politik makin mahal serta memperparah praktik politik uang karena interaksi calon dengan pemilih terjadi di ruang tertutup.
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Alex Indra Lukman mengatakan, calon anggota legislatif (caleg) dan partai politik asalnya memang harus mencari strategi baru yang berbeda dari Pemilu 2014. Sebab, sifat pemilu serentak yang berbeda dan kontestasi yang akan lebih sengit pada Pemilu 2019 nanti.
Alex, yang berasal dari daerah pemilihan Sumatera Barat, merasakan sengitnya persaingan pemilu mendatang itu karena dapilnya bukan merupakan basis suara Joko Widodo, capres yang diusung PDI-P. Pada Pemilu 2014, Jokowi mendapat suara hanya 23,08 persen dibandingkan Prabowo Subianto yang mendapat 76,92 persen.
Oleh karena itu, ujarnya, caleg harus memutar otak mencari strategi lain untuk memastikan perolehan suara dan kursinya aman di wilayah-wilayah yang rawan itu. Alex sendiri akan lebih mengutamakan pendekatan personal dari rumah ke rumah dibanding penggalangan massa lewat pertemuan akbar terbuka. Apalagi, Komisi Pemilihan Umum kini juga membatasi kampanye lewat pertemuan akbar dan media massa.
“Ketika semua dibatasi dan dipantau oleh KPU, memang jalan satu-satunya bagi partai dan caleg adalah mendatangi langsung door to door, dari rumah ke rumah,” katanya.
Kendati demikian, Alex mengakui bahwa pendekatan personal seperti itu berpotensi membuat biaya politik semakin mahal. Sebab, caleg dan partai perlu mengeluarkan biaya operasional yang tidak sedikit untuk menerjunkan relawan dan kader partai untuk mendatangi setiap rumah di berbagai wilayah.
“Justru biayanya jadi lebih besar dan tidak terukur. Kalau dulu kita kampanye lewat iklan media massa atau pertemuan akbar dan mendatangkan hiburan, itu lebih bisa diukur cost-nya,” ujar Alex.
Sulit diawasi
Tidak hanya itu, pendekatan dari rumah ke rumah juga berpotensi memunculkan ruang praktik politik uang yang semakin masif di Pemilu 2019. Kampanye menjadi sulit diawasi pihak luar karena pendekatan dilakukan secara personal dan tetutup di rumah-rumah warga.
“Bukan tidak mungkin bisa terjadi transaksi setelah mendatangi setiap rumah tangga. Lalu, siapa yang mau mengawasi kalau dilakukan intensif di rumah-rumah?” katanya.
Bukan tidak mungkin bisa terjadi transaksi setelah mendatangi setiap rumah tangga. Lalu, siapa yang mau mengawasi kalau dilakukan intensif di rumah-rumah?
Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria mengatakan hal serupa. Pendekatan personal menjadi lebih penting dan efektif untuk memastikan dukungan pemilih daripada penggalangan massa lewat pertemuan terbuka.
“Tetap akan ada panggung-panggung hiburan, penggalangan massa, tetapi cukup yang wajar-wajar dan proporsional saja. akan lebih banyak dialog, diskusi, menyerap aspirasi, secara personal,” katanya.
Untuk itu, barisan relawan partai di tiap daerah akan dikerahkan untuk membantu caleg bersangkutan mendatangi pemilih dari rumah ke rumah.
“Untungnya relawan-relawan itu hadir atas kesadaran masing-masing, sehingga mereka dengan sukarela akan diturunkan ke lapangan dari rumah ke rumah,” katanya.
Sementara Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno mengaku partainya akan lebih intens melakukan kampanye dialogis, dan melalui media sosial dan media massa, daripada pengerahan massa.
“Kita melihat dari gelaran sejumlah pilkada, model kampanye rapat umum itu gaungnya saja yang besar tetapi imbasnya ke elektoral relatif rendah. Beda kalau door to door,” jelasnya.