JAKARTA, KOMPAS – Kalangan petani sawit rakyat berharap terbitnya regulasi baru berdampak positif bagi mereka. Sejumlah masalah masih membelit petani, terutama terkait legalitas lahan, selain kendala modal, kelembagaan, dan teknis budidaya.
Regulasi yang dimaksud adalah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 19 September 2018. Sejumlah pihak berharap regulasi itu jadi momentum pembenahan tata kelola perkebunan sawit.
Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto saat dihubungi, Jumat (21/9/2018), berharap penerbitan inpres itu membantu petani mengatasi problemnya. Legalitas lahan menjadi hambatan utama khususnya bagi petani swadaya.
Dari 1,5 juta anggota SPKS yang tersebar di enam provinsi penghasil kelapa sawit, mayoritas adalah petani swadaya dan masih kesulitan mengajukan permohonan bantuan dana peremajaan. "Peremajaan dapat meningkatkan produktivitas. Namun, kami masih terkendala prosedur yang tumpang-tindih antara kementerian dan lembaga terkait," ujarnya.
Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Rino Afrino, kendala terbesar dan tidak mudah ditangani adalah legalitas atau sertifikasi lahan kebun sawit rakyat. Realisasi program peremajaan kebun sawit rakyat pun masih relati kecil, yakni dari target 2,4 juta hektar dalam 5 tahun sejak 2017, saat ini peremajaan baru sekitar 11.000 hektar.
Menurut Rino, kebun sawit rakyat sebenarnya banyak berada di kawasan hutan produksi atau kawasan hutan yang bisa dikonversi, bukan pada hutan konservasi, taman nasional, atau hutan lindung. Pemerintah berupaya menyelesaikan masalah legalitas lahan melalui Peraturan Presiden (Perpres) 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
Akan tetapi, perpres itu dinilai tidak menyelesaikan masalah legalitas lahan sawit rakyat. Dalam ketentuan di perpres itu diatur bahwa lahan atau tanah yang dapat dikeluarkan dari kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan merupakan lahan garapan yang sudah dikuasai lebih dari 20 tahun. Sementara kebun sawit rakyat mulai berkembang kurang dari 20 tahun atau setelah reformasi 1998.
Prioritaskan petani swadaya
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menilai, Inpres 8/2018 mirip Perpres 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan. Secara umum, implementasi aturan itu memprioritaskan petani swadaya.
Darmin menyatakan, baik Perpres 88/2017, Inpres 8/2018, dan Perpres tentang Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang tengah dirancang, mendukung kebijakan dan pemerataan reforma agraria. Secara menyeluruh, pemerintah ingin menguatkan tata kelola lahan yang terintegrasi dan prinsip berkelanjutan.
Masalah legalitas lahan perkebunan kelapa sawit, terutama lahan milik rakyat menjadi kendala yang sulit ditangani dalam upaya peremajaan perkebunan kelapa sawit. Selain itu, petani sawit menghadapi kendala terkait pembiayaan dari bank.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Joko Supriyono menilai, masalah lahan terkait dengan tumpang tindihnya perizinan dan status lahan. Dengan status lahan yang belum jelas, petani tidak mudah mendapatkan pembiayaan untuk peremajaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP). Dengan sejumlah kendala itu, peremajaan kebun sawit rakyat terhambat.
Padahal, setelah moratorium jalan, peningkatan produktivitas kebun menjadi satu-satunya pilihan meningkatkan produksi. Saat ini, produktivitas kebun rakyat diperkirakan hanya 2-3 ton minyak sawit mentah per hektar. Jauh di bawah potensinya yang mencapai 8-10 ton per hektar.