JAKARTA, KOMPAS - Keputusan untuk mengikuti atau tidak mengikuti program imunisasi campak-rubela dari setiap individu warga negara akan sangat memengaruhi status kesehatan masyarakat dan bangsa ini secara menyeluruh. masyarakat perlu sadar bahwa setiap keputusan memiliki konsekuensi yang tidak hanya berdampak pada individu semata tetapi populasi secara umum.
Jika mayoritas warga negara mengizinkan anaknya untuk divaksin campak-rubela (measles-rubella/ MR) maka kekebalan kelompok akan terbentuk. Dampaknya, akan banyak anak yang tercegah dari penyakit campak juga sindrom rubela kongenital (Congenital Rubella Syndrome/ CRS).
Sebaliknya, jika hanya sedikit masyarakat yang mengizinkan anaknya divaksin maka kekebalan kelompok terhadap penyakit campak-rubela tidak terbentuk. Akibatnya, risiko anak-anak terinfeksi campak dan CRS di kemudian hari semakin besar.
Demikian benang merah dari diskusi terbatas wartawan dan ilmuwan “Mari Berbincang Tentang Vaksin” yang diadakan oleh Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) di Jakarta, Jumat (21/9/2018). Diskusi tersebut menghadirkan dosen Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran yang juga anggota ALMI, Ahmad Faried, peneliti di PT Bio Farma yang juga anggota ALMI, Neny Nurainy, anggota Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesai (AIPI) yang juga dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Prof Musdah Mulia.
Faried mengatakan, menjaga kekebalan tubuh kelompok masyarakat adalah tanggung jawab setiap individu di dalamnya. Semakin banyak orang yang divaksin dalam sebuah kelompok maka semakin tahan kelompok masyarakat itu terhadap penyakit tertentu. Begitu juga sebaliknya. Itu sebabnya, dalam program imunisasi target program cakupan harus mencapai batas minimal tertentu, yaitu biasanya 95 persen. Dengan begitu, kekebalan kelompok (herd immunity) bisa terbangun.
Dalam program kampanye nasional imunisasi MR, pemerintah menargetkan cakupan minimal yang diraih mencapai 95 persen. Kampanye putaran pertama di Pulau Jawa dengan sasaran 35 juta anak usia 9 bulan - 15 tahun dilaksanakan pada Agustus-September 2018. Di akhir periode pelaksanaan cakupan imunisasi MR (30 September 2017) mencapai 97,69 persen.
Progam kampanye nasional imunisasi MR putaran kedua dilakukan di luar Pulau Jawa pada Agustus-September 2018 dengan target sekitar 32 juta anak. Per 10 September 2018 cakupannya baru mencapai 42,98 persen. Isu halal haram vaksin menjadi perbincangan yang meramaikan program imunisasi nasional putaran kedua.
Pemerintah pun mempertimbangkan memperpanjang pelaksanaan kampanye imunisasi MR sambil terus memperkuat advokasi di lapangan. Harapannya, cakupan imunisasi terus meningkat.
Budaya mencegah penyakit
Neni menuturkan, budaya preventif atau mencegah penyakit perlu digalakkan terus menerus. Sebab, kalau sudah jatuh sakit perawatan dan biaya yang diperlukan untuk menyembuhkan penyakit bisa sangat mahal. Contohnya, penyakit hepatitis. Vaksinasi hepatitis bisa dilakukan dengan biaya Rp 150.000. Namun, jika sudah sakit hepatitis dan menjadi sirosis atau bahkan kanker hati maka pengobatannya semakin rumit dan biaya yang dibutuhkan sangat besar.
Begitu juga dengan campak dan rubela. Campak dapat menyebabkan komplikasi yang serius seperti diare, radang paru, radang otak, kebutaan, gizi buruk, bahkan kematian. Sementara rubela meski merupakan penyakit ringan pada anak, infeksi pada ibu hamil bisa menyebabkan keguguran atau kecacatan pada bayi yang dilahirkan. Kecacatan itu disebut dengan sindrom rubela kongenital yang meliputi kelainan pada jantung, kerusakan jaringan otak, katarak, ketulian, dan keterlambatan perkembangan.
Vaksin tidak hanya memberikan manfaat bagi individu tetapi juga kelompok masyarakat bahkan manfaat global. Kekebalan tubuh seseorang yang telah divaksin terhadap penyakit tertentu akan terbangun sehingga bisa tercegah dari infeksi. Apabila hanya sebagian kecil dari populasi masyarakat yang divaksin maka kekebalan populasi tersebut tetap belum optimal. Akan banyak orang yang terinfeksi.
Namun, jika setidaknya 95 persen individu pada populasi divaksin maka kekebalan kelompok akan terbentuk optimal. Meski memang ibu hamil yang terinfeksi rubela berisiko melahirkan anak cacat yang menjadi sasaran vaksinasi adalah anak-anak karena merekalah yang paling banyak terinfeksi. Anak-anak yang terinfeksi rubela akan menularkan virusnya lewat udara kepada orang lain di sekitarnya.
Neni menambahkan, seiring perkembangan ilmu pengetahuan maka teknik produksi vaksin yang lebih memenuhi unsur halal pun terus berkembang. Komponen pengganti tripsin dalam proses inokulasi dan kultivasi pembuatan sebagian vaksin terus dikembangkan.
Adapun Musdah mengajak masyarakat untuk beragama dengan esensial, dengan menggunakan akal sehat yang telah dikaruniakan Tuhan. Penerjemahan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam keputusan-keputusan terkait pengobatan dan kesehatan jangan hanya mendasarkan pada teks tetapi konteks.
“Kita beragama untuk kemanusiaan kita. Saya suka sedih melihat kualitas kesehatan masyarakat yang rendah karena kualitas kesehatan masyarakat menunjukkan kualitas sebuah bangsa,” ujarnya.