Tak Ada Jalan Mudah ke Baghdad
Pemilu parlemen di Irak sudah berlalu lebih dari empat bulan. Namun, belum ada tanda-tanda pemerintahan baru
di Baghdad segera terbentuk. Padahal, pemerintahan dibutuhkan negeri itu untuk rekonstruksi pascateror NIIS.
Pentas politik Irak pascapemilu parlemen pada 12 Mei 2018 menghadapi era baru, yakni pertarungan Syiah-Syiah. Pertarungan tersebut menyebabkan proses politik untuk membentuk pemerintahan baru menjadi terseok-seok, mengingat kaum Syiah mendominasi kehidupan politik Irak setelah ambruknya rezim Saddam Hussein tahun 2003.
Undang-undang Pemilu Irak hasil pemilu tahun 2005 menegaskan, kaukus parlemen terbesar berhak membentuk pemerintahan baru dan sekaligus menunjuk perdana menteri baru. Dalam sistem politik Irak, pihak yang berhak membentuk pemerintahan adalah kaukus atau blok terbesar, bukan partai yang meraih suara terbesar.
Setelah era Saddam Hussein, tidak ada partai atau faksi politik di Irak yang mampu menang mutlak atau meraih suara lebih dari 50 persen dan bisa membentuk pemerintahan sendiri. Partai politik harus berkoalisi dengan partai lain untuk membangun kaukus terbesar di parlemen agar bisa membentuk pemerintahan. Partai peraih suara terbanyak tetapi kurang dari 50 persen+1 bisa saja tidak berkuasa jika partai itu tidak masuk dalam kaukus terbesar atau gagal membentuk kaukus terbesar di parlemen.
Dalam tradisi politik Irak saat ini, praktik transaksi dagang sapi untuk bagi-bagi kekuasaan di antara partai politik anggota koalisi sangat kuat. Karena itu, tidak dikenal kawan dan musuh abadi di peta politik Irak. Yang abadi dalam kamus politik Irak adalah kepentingan sesuai dengan transaksi dagang sapi itu.
Sejak pemilu parlemen tahun 2005, kemudian Pemilu 2010 dan 2014, partai-partai politik yang berafiliasi ke kaum Syiah selalu bersatu kemudian dengan mudah mereka berkoalisi dan membentuk pemerintahan baru.
Kubu Syiah terbelah
Menjelang pemilu parlemen 12 Mei lalu, tercatat ada lima faksi Syiah di Irak. Kelima faksi tersebut adalah Al-Saairun pimpinan Moqtada al-Sadr (54 kursi), Al-Fatah pimpinan Hadi al-Ameri (48 kursi), An-Nasr pimpinan Haider al-Abadi (42 kursi), Negara Hukum pimpinan Nouri al-Maliki (25 kursi), dan Al-Hikmah pimpinan Ammar al-Hakim (19 kursi).
Seandainya lima faksi atau partai Syiah itu bersatu, mereka akan mudah membangun koalisi dan sudah bisa membentuk pemerintahan baru yang dikontrol penuh oleh kubu Syiah. Jumlah kursi yang diraih oleh lima faksi politik Syiah itu mencapai 188 kursi atau lebih dari 50 persen dari 329 kursi parlemen hasil pemilu 12 Mei lalu. Syarat kaukus atau blok politik bisa membentuk pemerintahan baru minimal meraih 165 kursi atau 50 persen+1 dari 329 kursi di parlemen.
Namun, menjelang pemilu bulan Mei 2018, faksi-faksi Syiah terpecah pada dua kubu besar, yaitu koalisi faksi An-Nasr dan Al-Saairun di satu pihak, serta koalisi Negara Hukum dan Al-Fatah. Adapun faksi Al-Hikmah bersikap netral.
Faktor perpecahan kubu Syiah itu terkait kadar loyalitas kepada Iran. Koalisi faksi An-Nasr dan Al-Saairun dikenal kurang dekat dengan Iran dan lebih independen. Bahkan, An-Nasr lebih dekat dengan Amerika Serikat dan dunia Arab. Adapun koalisi faksi Negara Hukum dan Al-Fatah cenderung loyal ke Iran.
Pada sidang parlemen pertama pascapemilu bulan Mei, dua koalisi Syiah tersebut sama-sama mengklaim sebagai kaukus terbesar dan merasa berhak membentuk pemerintahan baru. Namun, mereka tidak pernah menunjukkan bukti di atas kertas tentang jumlah dukungan di parlemen sehingga bisa disebut kaukus terbesar. Karena itu, proses pembentukan pemerintahan baru sejak pemilu bulan Mei lalu selalu buntu.
Dua koalisi Syiah tersebut sama-sama masih membutuhkan dukungan kubu Sunni dan Kurdi untuk bisa membentuk pemerintahan baru. Inilah yang dimanfaatkan oleh kubu Sunni dan Kurdi untuk memberi syarat-syarat dukungan terhadap dua koalisi Syiah tersebut.
Sampai sekarang, kubu Sunni dan Kurdi belum memberikan dukungan yang jelas kepada salah satu dari dua koalisi Syiah tersebut. Kubu Kurdi, misalnya, memberi syarat dukungan kepada dua koalisi Syiah tersebut berupa komitmen melaksanakan Konstitusi Irak Nomor 140 yang menegaskan porsi anggaran dari pemerintah pusat di Baghdad bagi aparat keamanan Kurdi (Peshmerga) dan membangun negara Irak yang menghormati dan memperlakukan semua warganya, baik Arab maupun Kurdi, secara adil dan setara.
Adapun kubu Sunni memberi syarat agar Pemerintah Irak mendatang harus segera melakukan rekonstruksi wilayah Irak barat dan barat laut yang berpenduduk mayoritas Sunni. Seperti diketahui, wilayah Irak barat dan barat laut kini hancur akibat perang melawan milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di wilayah tersebut.
Kubu Sunni juga memberi syarat bahwa Pemerintah Irak segera membebaskan para tahanan dari aktivis kaum Sunni yang masih disekap di penjara Irak.
Pengaruh AS-Iran
Selain dipengaruhi syarat kubu Kurdi dan Sunni itu, proses politik dan pembentukan pemerintahan baru di Irak semakin rumit menyusul adanya campur tangan AS dan Iran. AS dan Iran kini bertarung agar pemerintahan baru Irak nanti loyal kepada mereka.
Pemerintah AS memberi tugas khusus kepada Utusan Khusus AS untuk Irak, Brett H McGurk, melakukan lobi intensif agar segera terbentuk pemerintahan baru Irak yang loyal kepada AS.
Iran juga bergerak dengan menugaskan salah seorang komandan Garda Revolusi, Jenderal Qasem Soleimani, melakukan lobi di Baghdad untuk membantu elite Irak membentuk pemerintahan baru loyalis Teheran.
Hubungan buruk AS-Iran pasca-keputusan Presiden AS Donald Trump membekukan secara sepihak kesepakatan nuklir Iran, cukup berpengaruh terhadap Irak. AS berusaha Pemerintah Irak mendatang harus ikut menjatuhkan sanksi terhadap Iran. Sebaliknya, Iran juga berupaya pemerintahan baru Irak nanti berani mengabaikan sanksi AS terhadap Teheran.
Dengan situasi seperti diuraikan di atas, akibat perpecahan di kubu Syiah dan persaingan AS-Iran, wajarlah jika pembentukan pemerintahan baru di Irak terus berlarut-larut.