Pemilih milenial yang mencapai 40 persen dari total pemilih pada Pemilu 2019 sekitar 185 juta kerap mendorong partai politik mengatur berbagai strategi dan bermacam siasat untuk memikat generasi milenial tersebut. Sayangnya, banyak parpol yang rentan terjebak simbolisme, seremonial dan artifisial, dan bukan substansial.
Pada Kamis (20/9/2018), markas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Jakarta seolah berubah menjadi ruang peragaan busana. Sejumlah artis dan model berlenggak-lenggok memamerkan beragam busana dengan atribusi lambang ataupun nomor urut PDI-P untuk Pemilu 2019. Kaus, topi, bandana, dan banyak lainnya yang bergaya kekinian dengan desain motif atribusi partai di setiap busana yang digemari generasi muda saat ini.
Di antara artis-artis itu tampak Krisdayanti, Kirana Larasati, Angel Karamoy, dan Ian Kasela, yang menjadi calon anggota legislatif (caleg) dari PDI-P untuk Pemilu 2019. Mereka bersama sejumlah model meliak-liuk di antara elite PDI-P yang hadir, termasuk Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
Di ujung pergelaran, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto turut menjadi model yang memamerkan busana kekinian PDI-P. Dengan kacamata hitam, sweater merah, celana jins, dan sepatu kets, Hasto bak model. Markas partai dan ruangan yang biasanya untuk rapat politik pun seperti berubah. Bukan tanpa alasan beragam busana dibuat dan diperagakan di kantor PDI-P. ”Semua ini intinya bentuk apresiasi PDI-P kepada kaum milenial,” ujar Hasto.
PDI-P, kata Ketua DPP PDI-P Andreas Hugo Pareira, memahami realitas komposisi demografi pemilih pada 2019 dan penduduk Indonesia, yang banyak dari generasi milenial. Dari realitas itu, PDI-P tak mungkin lari. Sebagai partai, PDI-P dituntut antisipasinya. Respons tentunya tak hanya memperluas konstituen PDI-P yang dikenal dengan sebutan ”wong cilik” ini guna kepentingan 2019, tetapi masa depan partai dan bangsa. Sebab, di tangan generasi milenial kepemimpinan masa depan berada.
Upaya memunculkan busana kekinian PDI-P tampaknya baru tahap awal dari respons partai. ”Bagaimanapun yang pertama menarik perhatian mereka dulu. Ketika mereka tertarik, baru datang dan melihat program, setelah itu diajak bergabung,” ujarnya.
Terjebak simbolisme
Bukan hanya PDI-P yang mencoba memikat generasi milenial. Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Persatuan Pembangunan, misalnya, juga mencoba melakukannya. Bahkan, keduanya sudah jauh-jauh hari mendekati kaum milenial. Ketua umumnya yang ditonjolkan untuk tujuan itu.
Dalam sejumlah acara, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum PPP Romahurmuziy kerap tampil bergaya anak muda masa kini. Kemudian, lewat akun Twitter-nya, Muhaimin Iskandar, cuitan yang diunggahnya juga kerap menggunakan bahasa anak muda. Romahurmuziy bahkan tak ragu bermain band atau Muhaimin yang kerap terlihat naik motor Vespa bersama anak-anak muda.
Tak ketinggalan, Partai Golkar juga mencoba menggaet minat para milenial. Ketua DPP Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan, Golkar sesungguhnya agak sulit mendekat kelompok milenial. Pasalnya, Golkar sebagai partai sudah sejak lama dianggap partai orang tua. Kini, Golkar mencari cara efektif mendekati kaum milenial menjelang 2019. Sebagai partai, yang karena sejumlah politisi dan petingginya kerap terjerat korupsi, Golkar sekarang mati-matian mengampanyekan program bersih dari korupsi.
Hal itu dilakukan karena partai menilai kelompok milenial peka dan menaruh perhatian sangat besar terhadap sejumlah isu penting, seperti integritas dan pemberantasan korupsi, juga isu toleransi dan sikap anti terhadap politik identitas yang berlebihan. ”Kami kelompok anak muda di Golkar beberapa tahun belakangan gencar berkampanye soal isu bersih-bersih, soal antikorupsi, meski tantangannya besar karena pimpinan (partai) ditangkap. Ini memang tak mudah karena Golkar dianggap partai orang tua,” kata Ahmad Doli.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, dengan jumlah pemilih 17-35 tahun pada 2019, hampir 80 juta dari total pemilih sekitar 185 juta atau sekitar 40 persen. Tak heran jika mereka menjadi sasaran dari partai. Namun, dalam mengejar sasaran, partai rentan terjebak pada hal-hal simbolik, seremonial, dan artifisial. Artinya, partai sekadar menampilkan simbol atau gaya kekinian untuk memikat, tetapi di balik itu tak ada kesungguhan memperhatikan kebutuhan generasi milenial. Padahal, kaum milenial punya kebutuhan substansial dan perhatian terhadap isu-isu penting yang seharusnya digarap partai lewat terobosan program-programnya. Survei Nasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada 2017 memetakan sejumlah realitas kesulitan yang dirasakan para milenial saat ini.
Faktor keterbatasan lapangan pekerjaan menduduki posisi pertama dengan 25,5 persen responden merasakan sebagai kesulitan terbesar. Di posisi kedua, 21,5 persen responden merasa kesulitan dengan tingginya harga kebutuhan pokok. Isu ketiga yang disoroti kaum milenial tingginya angka kemiskinan atau dirasakan 14,3 persen responden. Untuk mencegah partai tak hanya terjebak hal-hal artifisial, partai ditantang menawarkan program-program yang mampu menjawab kebutuhan generasi milenial. Jangan sampai seperti yang terlihat selama ini, yaitu diskoneksi antara program partai dan kebutuhan milenial. Kebutuhan para milenial bisa dengan mudah diperoleh partai jika partai intens membangun interaksi dengan milenial. ”Dari interaksi, partai bisa menyerap kebutuhan milenial dan menyusun program kebutuhan itu,” kata Titi.
Partai diharapkan juga tak hanya menempatkan generasi milenial obyek ataupun sumber suara 2019. ”Milenial merupakan aset jangka panjang partai. Maka, partai berkepentingan terhadap keberadaan mereka sebagai individu yang jaga kesinambungan politik ke depan,” katanya. Semestinya juga partai sungguh-sungguh melibatkan generasi milenial aktor utama kerja- kerja partai.