Berlebihan rasanya jika berharap rezim Korea Utara akan langsung menghentikan seluruh pengembangan rudal dan nuklirnya setelah pertemuan bilateral ketiga antara Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, pekan ini, di Pyongyang, Korea Utara. Apalagi selama tujuh tahun terakhir, hanya strategi nuklir itulah yang menjadi fokus Kim yang kemudian memamerkan hasilnya pada dunia melalui uji rudal tiada henti.
Dan memang isu perlucutan nuklir tidak tuntas dibahas dalam pertemuan itu. Ini lebih karena isu perlucutan nuklir itu terkait dengan Amerika Serikat sehingga Kim harus membahasnya dengan Presiden AS Donald Trump. Membujuk Kim untuk mau berdialog lagi dengan Trump ini menjadi misi utama Moon ke Korut.
Kabar baiknya, Kim mau berdialog lagi secepatnya. Bahkan Kim mau menonaktifkan fasilitas pengembangan nuklir dan diverifikasi oleh tim pengawas asing. Pemerintahan Trump langsung menanggapi komitmen Kim itu dengan kesediaan untuk kembali berdialog.
Kabar baiknya lagi, Korsel dan Korut sepakat mempererat hubungan melalui kerja sama ekonomi dan olahraga serta sama-sama sepakat melonggarkan pengamanan militer di sepanjang garis perbatasan kedua negara. Terkait dengan ekonomi, John Delury, sejarawan China dan pakar Semenanjung Korea dari Studi China, Yonsei University, Seoul, menilai Kim ingin menjadi reformis ekonomi.
Ia tampaknya meniru strategi pasca perang Jepang di masa Perdana Menteri Yoshida Shigeru, Lee Kuan Yew di Singapura, diktator militer Korsel Park Chung-hee, dinasti Chiang Ching-kuo di Taiwan, dan Deng Xiaoping di China. Ada baiknya AS membantu keinginan Kim menjadi reformis ekonomi karena, untuk saat ini, itu cara terbaik untuk memperlancar proses perlucutan nuklir dan menghilangkan ancaman dari Korut.
Khusus di bidang pertahanan, dalam pertemuan tiga hari, Korsel-Korut sepakat membongkar 11 pos penjagaan perbatasan, membersihkan ranjau di sekitar perbatasan, dan membatasi latihan militer, termasuk latihan artileri, 5 kilometer dari garis perbatasan. Niatnya untuk mengurangi ketegangan dan mengantisipasi bentrokan yang tidak diharapkan.
Namun harian The Wall Street Journal, Jumat, menyebutkan ada kekhawatiran langkah pengendoran keamanan di perbatasan itu akan membuat militer Korsel dan sekutunya, AS, tak akan bisa cepat merespon provokasi militer Korut. Bulan lalu, Jenderal Vincent Brooks, petinggi militer AS di Semenanjung Korea, mengkhawatirkan kemampuan pengamanan perbatasan setelah Korsel berencana mengurangi jumlah pasukan hingga 100.000 orang. Namun Korsel yakin itu tidak akan mengurangi kesiagaan.
"Jika pertahanan dilonggarkan, kita tidak mungkin bisa mendeteksi dan memperingatkan garda depan jika ada serangan," kata Kepala Lembaga Kajian Institut Demokrasi Liberal Korea Yoo Dong-ryul.
Kemesraan Korsel-Korut, setidaknya antara Moon dan Kim, dinilai akan menyulitkan posisi AS di kawasan. Trump akan kesulitan untuk bersikap tegas atau mengajak negara-negara lain untuk bersikap sama. Dengan Korsel jelas tidak akan mudah.
"China mungkin juga tidak akan bisa dimintai bantuan lagi mengingat perang dagang antara AS dan China saat ini. Saya kira Korut sudah terbebas dari tekanan berat," kata Harry Kazianis dari Pusat Kepentingan Nasional Korsel kepada harian the South China Morning Post.
Perdamaian
Pertemuan Moon dan Kim hanya menjadi pembuka dialog Korut dan AS. Pergulatan yang sesungguhnya akan terjadi pada pertemuan Trump dan AS. Dalam pertemuan terakhir AS-Korut di Singapura, Kim masih bersikeras menuntut ada kesepakatan perdamaian untuk mengakhiri perang Korea (1950-1953) terlebih dahulu sebelum Korut melucuti rudal dan nuklirnya. Sebaliknya, AS menuntut perlucutan nuklir harus tuntas dulu sebelum menutup buku perang Korea.
Jung H Park dari Pusat Studi Kebijakan Asia Timur Brookings Institute menjelaskan ajakan untuk perundingan perdamaian bukan taktik baru Korut. Selama ini, sejak zaman mendiang Kim Jong-il, Korut selalu menggunakan cara itu untuk mengalihkan perhatian dari isu nuklir. Fokus Kim mendorong deklarasi perdamaian dan yakin akan bisa tercapai itu kemungkinan karena ia melihat ada peluang sekali seumur hidup dengan Trump untuk bisa meraih itu.
Alasan kedua, menurut Jung, Kim kini merasa bisa meminta bantuan dan dukungan Moon. Berbeda dengan pemimpin Korsel sebelumnya, Lee Myung-bak dan Park Geun-hye, yang memilih bersikap keras pada rezim Kim. Apalagi Moon dan Kim juga sama-sama ingin membangun persatuan dan mendorong kesejahteraan Korea bersama-sama.
"Untuk mengalihkan perhatian dunia dari nuklirnya, Kim menyatakan akan mulai fokus pada isu perekonomian," kata Jung.
Pemerintahan Trump diingatkan untuk mewaspadai motivasi tersembunyi Kim. Pakta perdamaian itu jelas bukan obat mujarab atau inti dari hubungan AS-Korut ke depan ataupun penjamin stabilitas regional dan global. Jung mengingatkan ada risiko jika pakta perdamaian terlalu dini disepakati. Itu akan memberikan Pyongyang keuntungan legitimasi sebagai negara dengan kekuatan senjata nuklir, mengikis aliansi AS-Korsel dan kredibilitas AS di kawasan, serta melemahkan norma-norma non proliferasi global.
Jika sudah ada pakta perdamaian itu, akan sulit bagi AS untuk bertindak tegas lagi pada Korut jika misalnya Korut kembali menguji rudal dan nuklirnya. Korut akan dengan mudah menuding AS tidak menghargai pakta perdamaian yang sudah disepakati bersama.
Karena alasan itulah barangkali yang membuat AS tidak akan mudah menyetujui pakta perdamaian sebelum yakin Korut tidak lagi memproduksi atau menyimpan rudal dan nuklir. Yang jelas, proses perundingan AS dengan Korut masih akan lama. Apalagi mengingat sikap dan suasana hati Trump dan Kim yang mudah berubah. Kita lihat saja nanti. (Luki Aulia)