Pertarungan demi Keamanan Nuklir
Sidang Umum Badan Energi Atom Internasional ke-62 yang berlangsung pada 17-21 September 2018, di Vienna, Austria, menjadi ajang pertarungan negara-negara anggota mengamankan kepentingan terkait nuklir. Isu yang hangat dibahas adalah penerapan pendekatan inspeksi instalasi nuklir pada negara (state-level safeguards approach).
Sekitar 2.500 partisipan dari 153 negara anggota Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), organisasi internasional, organisasi nonpemerintah, dan media hadir di sidang tahunan itu. Badan internasional beranggotakan 170 negara itu membahas antara lain inspeksi instalasi nuklir dan aplikasi nuklir untuk tujuan damai.
Menurut Direktur Jenderal IAEA Yuki Amano, dalam sambutan tertulis, selain mendorong pemakaian nuklir untuk kesejahteraan dan kesehatan manusia, IAEA menginspeksi 181 negara demi memastikan bahan nuklir tak dialihkan dari tujuan damai. ”Kontribusi ini penting dan unik demi menjaga perdamaian dan keamanan internasional,” ujarnya.
Selama ini, IAEA bertugas memastikan negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir agar tidak memiliki senjata nuklir, tetapi memanfaatkan nuklir untuk tujuan damai. Itu didukung adanya sejumlah laboratorium IAEA. Lima negara anggota Dewan Keamanan PBB diakui secara resmi memiliki senjata nuklir, yakni Inggris, Perancis, Amerika Serikat, China, dan Rusia.
Sejumlah resolusi diadopsi dalam Sidang Umum IAEA, Jumat (21/9/2018), terkait penguatan kerja sama teknis, aplikasi nuklir, dan inspeksi instalasi nuklir. Negara-negara anggota mendukung IAEA meningkatkan efektivitas dan efisiensi inspeksi instalasi nuklir untuk tujuan damai agar tak dijadikan senjata nuklir seiring meningkatnya jumlah instalasi nuklir yang harus diverifikasi.
Sekretariat IAEA pun diminta melanjutkan penerapan state-level approach (SLA) dengan memperkuat kemampuan teknis, inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta bermitra dengan negara anggota. Sekretariat harus rutin melaporkan hasil evaluasi penerapan SLA ke Dewan Gubernur IAEA, berdialog dan berkonsultasi dengan negara yang diinspeksi agar tidak ada kecurigaan.
Resolusi itu diadopsi setelah melalui pembahasan alot di Sidang Dewan Gubernur IAEA yang beranggotakan 35 negara dan diketuai Indonesia, 10-14 September 2018. ”Pertarungan riil berbagai isu internasional nuklir ada di sidang dewan gubernur dan hasilnya dibawa ke sidang umum,” kata Ketua Dewan Gubernur IAEA periode 2017-2018 Darmansjah Djumala.
Menurut Darmansjah, SLA merupakan pendekatan baru IAEA dalam menginspeksi instalasi nuklir suatu negara untuk tujuan damai secara keseluruhan agar lebih efektif dan efisien. Jadi, inspeksi oleh IAEA tidak hanya menyasar fasilitas nuklir suatu negara, tetapi juga menganalisis kemungkinan suatu negara memiliki senjata nuklir dengan fasilitas yang ada.
Sebelumnya, dalam memantau program nuklir, IAEA berpatokan pada acuan manual mencegah kepemilikan senjata nuklir tanpa tujuan spesifik. Dalam SLA, ada tujuan teknis inspeksi agar lebih tepat sasaran, misalnya kemungkinan negara pemilik reaktor nuklir mengalihkan bahan bakar reaktor menjadi senjata nuklir.
Selain itu, elemen menonjol SLA ialah penggunaan sumber informasi terbuka atau intelijen dan pihak ketiga. Itu berbeda dengan pendekatan inspeksi sebelumnya yang mengandalkan informasi dari suatu negara dan inspeksi langsung ke negara itu.
”Inspeksi memakai teknologi canggih agar instalasi nuklir di bawah tanah bisa diketahui,” kata Darmansjah. Konsep SLA telah diterapkan sejak tahun 2001. IAEA memperbarui SLA yang diterapkan di 53 negara yang terikat perjanjian inspeksi komprehensif (CSA) dan protokol tambahan (AP) secara bertahap pada 2016 dan 2017. Sebanyak 127 negara telah memiliki CSA dan AP, termasuk Indonesia.
Pemeriksaan ketat ialah aktivitas IAEA melakukan verifikasi untuk memastikan suatu negara tak menggunakan program nuklir untuk tujuan damai menjadi senjata nuklir. Traktat nonproliferasi nuklir (NPT) global dan perjanjian lain bertujuan mencegah penyebaran senjata nuklir dengan IAEA sebagai verifikator.
Ada serangkaian tindakan sesuai tipe perjanjian inspeksi dengan suatu negara. Pemeriksaan ketat program nuklir dideklarasikan suatu negara dilakukan di bawah CSA-NPT. Dengan AP, dokumen legal pelengkap inspeksi komprehensif, IAEA memeriksa secara ketat instalasi nuklir yang dideklarasikan ataupun tidak dideklarasikan suatu negara.
Legitimasi
Kini IAEA menerapkan SLA kepada negara-negara anggota, termasuk negara yang tidak memiliki CSA dan AP. Dalam Sidang Dewan Gubernur IAEA, pekan lalu, Rusia mempertanyakan legitimasi penerapan SLA tanpa melalui keputusan negara anggota. Rusia menilai SLA seharusnya hanya diterapkan di negara anggota yang terikat CSA dan AP.
Rusia mendesak penundaan penerapan SLA terhadap negara yang tidak punya AP. Secara geopolitik, Rusia sebagai negara bekas adidaya memiliki sejumlah negara bekas sekutu, Ukraina dan Kazakhstan. Penggunaan sumber informasi terbuka dinilai sejumlah pihak bisa memata-matai negara-negara anggota.
Sikap itu didukung China, Brasil, Venezuela, dan Mesir. Delegasi China pada Sidang Umum IAEA ke-62 mengatakan, China menuntut perbaikan implementasi SLA, terutama konsultasi dengan negara yang diinspeksi. China termasuk negara yang berambisi mengembangkan industri nuklir, terutama untuk energi.
Delegasi Indonesia yang diketuai Darmansjah tidak mempersoalkan eksistensi dan legitimasi SLA. ”Namun, kami meminta IAEA berkonsultasi secara bilateral saat inspeksi. Selain itu, harus ada transparansi hasil inspeksi agar bisa dibandingkan dengan fakta di lapangan. Koordinasi dan konsultasi secara intensif ini untuk menghindari adanya kecurigaan,” papar Djumala.
Mayoritas negara anggota Dewan Gubernur IAEA mendukung penerapan SLA bagi negara anggota karena merupakan hak prerogatif sekretariat. Keputusan itu diadopsi sebagai resolusi dalam Sidang Umum IAEA tahun ini. Amerika Serikat, Australia, dan Afrika Selatan menyatakan secara tegas dukungan penerapan SLA oleh IAEA.