Tayub, dari Pendopo sampai Pasar
Tayub, tarian rakyat itu menjadikan pendopo rumah dinas Bupati Blora, Jawa Tengah, terasa lebih indah. Begitu pula Pasar Pon, pasar hewan di Blora yang sama makin sigrak, marak oleh gamelan yang mengiringi penari tayub. Tarian rakyat itu menjadi bagian dari Festival Cerita dari Blora yang digelar pada 12-15 September lalu.
Dua perempuan berbalut kostum oranye dan selendang merah menari di atas terpal biru berukuran 2 x 3 meter. Keduanya berlenggak lenggok mengikuti alunan gamelan dan lantunan tembang. Itulah ledek barangan atau penari yang mengamen di tengah pasar hewan di Blora, Sabtu (15/9/2018) pagi.
Suara pedagang dan pembeli bertawar-menawar, hingga penjual obat yang menggunakan pengeras suara berebut saut dengan gema gamelan pengiring ledek barangan. Mereka menari tayub ketika sapi-sapi diturunkan dari mobil dan truk pengangkut. Suasana itu tidak menurunkan gairah penayub dan pengibing.
"Ayo ayo, siapa mau menari. Hanya membayar Rp 10.000 dan ambil kartu antrean. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya boleh," kata pranotocoro atau semacam pemandu acara dalam bahasa Jawa.
Pembawa acara itu memberikan selendang kepada mereka yang hendak ikut menari. Maka, bapak-bapak, dan bahkan ibu-ibu yang ambil bagian. Dalam satu sesi tarian, empat orang dipersilakan ikut menari, dua di antaranya menghadap sang penari, dan yang lain membelakangi mereka.
Dengan menyesuaikan iringan musik dan tembang, mereka menari sambil bertatap muka. Beberapa kali, sang penari maupun penari "dadakan" tersipu sehingga mengalihkan pandangan mata. Sebagian lagi meladeni tatapan sang penari dengan senyuman. Beberapa laki-laki bahkan terlihat bersemangat dalam menari.
Yang tidak ikut mengibing, ada yang berbagi rasa dengan memberi barang jualan mereka. Seorang penjual telur puyuh memberikan sebungkus plastik berisi telur puyuh kepada sang penari. Ada juga yang memberi nasi kotak kepada para penari dan pemain gamelan serta pesinden.
Tayub turun ke tempat umum saat ini bisa dikatakan peristiwa langka. Maman (53), penjual sapi di Pasar Pon, mengatakan, terakhir kali menyaksikan ledek barangan di pasar sekitar tahun 1985. Ledek barangan merupakan bentuk tayub yang tumbuh di berbagai wilayah di Jawa.
Tayub menjadi salah satu menu "Cerita dari Blora", sebuah festival yang merupakan bagian dari platform Indonesiana. Program dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini digagas untuk membangun kembali ekosistem seni tradisi. Dalam hal ini, termasuk tayub yang dulu menjadi bagian dari perangkat kehidupan di Blora.
Kurator produksi Cerita dari Blora, Edi Purwanto, mengatakan, dahulu ledek barangan dan penayub mengenakan kemben. "Namun, bukan sisi itu yang ditonjolkan. Pakaian pun sudah disesuaikan. Ini upaya untuk memperkuat ekosistem seni tradisi di Blora," ujar Edi.
Ritual kesuburan
Tayub merupakan bagian dari rentang panjang ritual kesuburan. Hal itu dipaparkan Hari "Genduk" Mulyatno, penari koreografer, pengajar tari di Institut Seni Indonesia (ISI), Surakarta, dalam lokakarya tayub di Pendopo rumah dinas Bupati Blora, Jumat (14/9). "Nyawa tayub itu sudah tua sekali, tapi raganya tampak muda," kata Hari yang adalah pemerhati tayub.
Dikatakan tua karena ritual dan simbol kesuburan sudah tertatah di candi, seperti Candi Sukuh, Candi Ceta, dan Borobudur. Kesuburan disimbolkan dengan bentuk lingga dan yoni. Dalam kultur agraris, kesuburuan atau keseimbangan hidup, diungkapkan pada sepasang sapi jantan dan betina untuk membajak tanah. Alu dan lesung untuk menumbuk. Tampak juga pada sepasang boneka pengantin Loro Blonyo. "Ada berlapis-lapis nilai tertumpuk di dalam tayub," kata Hari.
Sebagai ritual kesuburan atau keharmonisan kehidupan, tayub digelar pada tradisi merti desa (bersih-bersih desa). Ada pula tradisi menanggap tayub sebagai bentuk syukur atas kesembuhan. "Karena pada dasarnya, tayub itu tarian doa dan harapan untuk keselamatan. Keselamatan untuk tanah, keselamatan atas penyakit, ekonomi, kesejahteraan . Itu mengapa tayub lekat dengan upacara. Tayub itu seperti doa lewat tubuh," kata Hari.
Karya turunan
Di tempat lain tari sejenis tayub disebut lengger, ronggeng, bajidor, dan lainnya. Tayub, dipaparkan Hari, menjadi sumber dari karya tari lain. Di antaranya adalah gambyong yang lahir dari lingkungan Mangkunegaran era 1950-an. "Roh" dari harmoni ke-sepasang-an atau keseimbangan kehidupan itu terwujud dalam garapan tari.
"Raga penari perempuan, akan tetapi pola geraknya laki-laki. Penari perempuan tapi sekaran, atau musiknya laki-laki. Ini merupakan perkawinan ragam laki-laki dan perempuan," kata Hari.
Perkawinan ragam itu juga ada pada tayub atau lengger banyumasan di mana penari perempuan menggunakan ragam gerak laki-laki seperti kiprahan. Kiprah adalah gerak kedua kaki mengentak-entak, seperti melompat-lompat kecil, ritmis, cepat.
Tayub juga menurun, atau setidaknya menjadi inspirasi karya tari seperti Karonsih karya Maridi yang menampilkan tokoh pasangan Dewi Sekartaji dan Panji Asmara Bangun. Juga tari Enggar-Enggar karya Sunarno, dan tari Suko Reno garapan Hari Mulyatno. "Yang diambil dari tayub pada tari-tari tersebut adalah esensi tarian berpasangan," kata Hari.
Tari Suko Reno dirancang Hari sebagai pembelajaran agar generasi hari ini mengenal dan menyukai tayub. Untuk itu hari sengaja mempercepat gerak tari agar disukai kaum muda.
Tayub memang terkesan sebagai tari "sederhana", bahkan terkesan itu-itu saja. Gerak terbatas pada gerak pinggul dan tangan. "Volume (keluasan gerak) juga termasuk kecil. Tapi punya rasa khas tayub yang erotis. Tayub itu lebih ke rasa," kata Sri Setyoasih atau Thing Thong, penari dari kelompok Sahita yang juga tampil sebagai pembicara dalam lokakarya tayub di Blora.
Dalam bahasa Hari Mulyatno, gerak tari tayub itu ada di dalam tubuh. Penonton perlu kepekaan rasa untuk menangkap gerak dalam tubuh itu. Sementara ada jenis tari lain yang lebih menonjolkan gerak raga.
Dia mengatakan, "Tayub itu enaknya kalau ora (tidak) dinikmati dengan ikut menari. Pengibing akan melihat diri, tidak dengan mata tapi dengan hati."