Ulat yang Jadi Kupu-kupu Cantik
Daya kreasi dan inovasi anak-anak muda ditangkap sejumlah perusahaan besar untuk dilatih dan dibina. Para wirausaha muda ini bagaikan ulat yang menjadi kepompong, kemudian berubah wujud menjadi kupu-kupu nan cantik.
Untuk mengubah ulat menjadi kupu-kupu itu, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk memiliki program Wirausaha Muda Mandiri atau WMM. Program—sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan—ini digelar Bank Mandiri sejak 2007. Hingga kini, WMM sudah menjangkau 36.000 anak muda dari 656 perguruan tinggi se-Indonesia.
Ada tahapan yang mesti diikuti anak-anak muda ini saat mengikuti WMM. Tahapan itu antara lain lolos penjaringan di perguruan tinggi. Kemudian, disaring menjadi finalis.
Pada WMM 2018 yang bertema ”Berani Muda, Berani Berkarya”, ada 70-an finalis yang terpilih. Di antara para finalis itu, 27 orang memenangi penghargaan terbaik di setiap kategori, penghargaan usaha terfavorit, dan penghargaan terbaik dari yang terbaik.
Para pemenang mendapat uang tunai berkisar Rp 40 juta-Rp 200 juta. Nantinya, mereka akan dibina Bank Mandiri.
”Bank Mandiri membingkai usaha kami sehingga kami lebih percaya diri mengembangkan pasar,” kata pengembang Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran sekaligus alumnus WMM, Sugeng Handoyo.
Bagi Sugeng, ilmu dan diskusi dengan mentor yang memfasilitasi wirausaha muda benar-benar berharga. Tak hanya menjadi referensi dalam merintis usaha, tetapi juga bisa membentuk jaringan dan komunitas bisnis.
Bagi pendiri Coklat Klasik, Martalinda Basuki, materi yang sangat berkesan adalah pengaturan arus kas dan promosi bisnis. Sebelum mengikuti program WMM, arus kas usahanya berantakan dan membuatnya berada di titik terendah dalam menjalankan usaha.
Manfaat pembinaan juga dirasakan alumnus lainnya, yakni pendiri NoonaKu Signature, Florentia Jeanne Sutanto, yang bergerak di bidang usaha busana. Keikutsertaannya membuat Jeanne bisa berdiskusi dan dibina desainer Indonesia.
Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Kartika Wirjoatmodjo menyebutkan, WMM merupakan wadah bagi pelaku usaha muda untuk menaikkan skala usaha. ”Dari ide bisnis, anak-anak muda mewujudkannya, lalu meningkatkan kapabilitas usahanya,” katanya.
Kartika menambahkan, saat ini dia tengah mencetak pengusaha-pengusaha muda baru. Dengan demikian, WMM merupakan investasi dalam ekosistem perbankan.
Wirausaha sosial
Dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Direktur Pelaksana Sociopreneur Muda Indonesia (Soprema) Hempri Suyatna menyampaikan, Soprema lahir dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM. Mereka memilih memasuki kompetisi wirausaha sosial karena melihat penanganan masalah kemiskinan masih perlu banyak inovasi.
Kompetisi ini telah memasuki tahun ketiga dengan peserta dari hampir semua provinsi di Indonesia. Para peserta yang terpilih diundang dan diinapkan di Yogyakarta selama beberapa hari untuk mengikuti kompetisi.
”Kebetulan kami yang berlatar belakang ilmu sosial dan ilmu politik memilih pengembangan wirausaha sosial sebagai salah satu cara menangani masalah kemiskinan. Melalui kompetisi ini, kami bisa mendorong kemunculan wirausaha sosial. Kalau sekadar wirausaha, yang muncul mungkin malah ketimpangan baru,” kata Hempri.
Sejauh pantauan mereka, sekitar 95 persen alumnus Soprema masih memiliki usaha. Lima persen lainnya ada yang tak berlanjut dan ada pula yang beralih usaha. Soprema berusaha memastikan para wirausaha sosial ini bertahan dengan mendampingi dan membina.
”Para jawara Soprema yang pernah menjadi semifinalis dan finalis akan dikumpulkan lagi pada 25-26 September untuk mengikuti program inkubasi dan pembinaan. Program ini baru. Harapannya, kami mengetahui perkembangan mereka sekaligus memastikan pasar mereka berkembang dan memiliki jejaring bisnis,” kata Hempri.
Kendati pelaksanaan kompetisi melibatkan fakultas, Kementerian Pemuda dan Olahraga, swasta, serta alumni Fisipol UGM yang menjadi mitra turut membantu mencarikan sponsor. Tahun lalu, peserta berasal dari 28 provinsi, sedangkan tahun ini 32 provinsi. Dua bidang yang dikompetisikan adalah pertanian dan pengembangan wisata serta industri kreatif.
Sementara itu, Corporate Communications Head Bank Danamon Atria Rai menjelaskan, Danamon Social Entrepreneurs Awards (DSEA) bertransformasi menjadi Danamon Entrepreneur Awards (DEA) yang mulai diselenggarakan pada 2017. Transformasi nama kompetisi ini selaras dengan perubahan fokus bisnis.
DSEA diselenggarakan rutin sejak 2006. Saat itu, PT Bank Danamon Indonesia Tbk fokus pada segmen usaha kecil menengah (UKM). Akan tetapi, Danamon menekankan, DSEA harus mengangkat semangat sosial dari bisnis yang dijalankan.
Semangat yang sama tetap disematkan pada DEA. Pelaku usaha yang ikut serta dalam kompetisi yang diselenggarakan Danamon adalah yang membangun usahanya demi perekonomian Indonesia sambil berbagi di lingkungannya.
”DEA menargetkan pelaku wirausaha yang telah menunjukkan prestasi kinerja bisnis yang mengagumkan dan peduli pada masyarakat melalui cara memberdayakan masyarakat sekitarnya,” ujar Atria.
Pada 2017, peserta yang masuk untuk mendaftar di DEA sebanyak 607 peserta atau meningkat 14 persen dibandingkan dengan 2016, yaitu 532 peserta. Dari total peserta yang mendaftar itu, 576 peserta merupakan pelaku wirausaha dan 31 perusahaan teknologi finansial.
Sementara itu, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) bekerja sama dengan BNI Syariah menggelar Derap Ekrafpreneur Hasanah Mulia (Deureuham) pada 12-14 Juli 2018. Deureuham adalah kompetisi wirausaha ekonomi kreatif berbasis syariah.
Deputi Akses Permodalan Bekraf Fadjar Hutomo menjelaskan, Deureuham menstimulasi kelahiran wirausaha ekonomi kreatif berbasis syariah sekaligus membuka akses pembiayaan
syariah bagi pelaku usaha.
Upaya korporasi mendorong wirausaha muda berperan dalam perekonomian di Tanah Air kian marak. Saatnya wirausaha muda bersinar. (JUD/MAR/MED)