Bekasi, Bangkit dari Reruntuhan Puing Perang
Bekasi, 17 Januari 1950. Sebanyak 25.000 warga berbondong-bondong mendatangi Alun-alun Bekasi. Di bawah pimpinan Komandan Batalion I Sudarsono/Kompi Siliwangi Karawang-Bekasi Kolonel Lukas Kustaryo dan KH Noer Ali, mereka berunjuk rasa, menuntut untuk keluar dari Distrik Federal Jakarta dan mengubah nama Kabupaten Jatinegara menjadi Kabupaten Bekasi. Warga tak mau menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Bagi mereka, federalisme tak ubahnya muslihat Belanda untuk kembali menjajah Indonesia.
Jurnalis dan pemerhati sejarah Bekasi, Ali Anwar, di Jakarta, Minggu (16/9/2018), mengatakan, apel akbar yang dilakukan warga Bekasi merupakan bagian dari strategi militer. Mereka tak percaya terhadap hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang mengakui kedaulatan Republik Indonesia sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat.
Berdasarkan pengalaman, Belanda selalu mengkhianati hasil perjanjian. ”Mereka bermaksud melemahkan posisi Belanda dengan menyempitkan wilayah Negara Federal Jakarta lalu bergabung dengan Republik Indonesia,” ujarnya.
Dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, MC Ricklefs menjelaskan, gejolak pro-Republik tidak hanya terjadi di Bekasi, tetapi juga di wilayah lain. Terutama dengan dibebaskannya 12.000 tawanan Republik dari penjara-penjara Belanda pada akhir 1949.
Perlawanan muncul di mana-mana. Sebagian besar negara federal memutuskan untuk membebaskan diri dan bergabung dengan Republik.
RIS hanya bertahan selama beberapa minggu. Tentara Belanda yang tersisa kembali ke negaranya. Pada peringatan hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan yang kelima, 17 Agustus 1950, seluruh struktur konstitusional semasa revolusi fisik (1945-1950) dihapuskan. Republik Indonesia sudah mantap berdiri, Jakarta dipilih sebagai ibu kota negara.
Skenario yang berlangsung pada akhir masa revolusi itu rupanya tak menguntungkan bagi Bekasi. Tuntutan apel akbar mereka untuk keluar dari Jakarta dikabulkan Presiden Soekarno. Wilayah yang juga diberi nama baru Kabupaten Bekasi itu masuk ke dalam Provinsi Jawa Barat.
”Pada 1990-an saya sempat mewawancarai Kolonel Lukas yang terakhir berpangkat brigadir jenderal. Ia mengaku menyesal telah menggagas ide agar Bekasi keluar dari Jakarta,” kata Ali yang juga menulis buku Revolusi Bekasi. Lukas merasa, strategi tersebut justru mengarahkan Bekasi pada keterpurukan selama puluhan tahun.
Terpuruk puluhan tahun
Pada awal penetapan Kabupaten Bekasi, pemerintah pusat memberikan wilayah mulai dari Kebayoran, Cawang, Bekasi, hingga Cikarang. Namun, penetapan itu diubah karena pemerintah pusat yang baru saja pindah dari Yogyakarta ke Jakarta membutuhkan daerah hunian untuk aparatur sipilnya. Kebayoran dan Cawang dimasukkan ke Jakarta, sedangkan Bekasi mendapatkan wilayah Cibarusah sebagai pengganti.
Warga Bekasi yang bertahun-tahun menjadi korban perang kemerdekaan pun tak mampu memerintah daerahnya secara optimal. Mereka tidak memiliki bekal pendidikan yang mumpuni. Kondisi ekonomi warga maupun wilayah porak poranda akibat perang selama bertahun-tahun. Ditambah lagi, tidak ada kompensasi apa pun dari pemerintah pusat karena kondisi ekonomi di lingkup nasional tak jauh berbeda.
”Saking miskinnya, pusat pemerintahan Kabupaten Bekasi masih ditempatkan di Jakarta selama 12 tahun,” ujar Ali.
Pada 1950-1962, pusat pemerintahan masih dilaksanakan di Jatinegara, yaitu di gedung yang kemudian menjadi Markas Komando Distrik Militer (Kodim) 0505 Jakarta Timur. Kini, bangunan yang terletak di Jalan Jatinegara Timur RT 004 RW 003, Rawa Bunga, Jatinegara, Jakarta Timur, itu kerap digunakan untuk kegiatan kebudayaan Betawi.
Memasuki pemerintahan Presiden Soeharto, pembangunan di Bekasi juga tak memberikan banyak manfaat bagi warga. Kabupaten dibangun sebagai pusat industri secara besar-besaran. Namun, keberadaan pusat industri tak mampu menyerap tenaga kerja dari warga Bekasi yang tertinggal pendidikannya. Hasil pajak pun lebih banyak masuk ke lingkup nasional.
Meski demikian, dalam buku Sejarah Singkat Kabupaten Bekasi yang ditulis Ali Anwar, pada awal 1970-an upaya mengatasi ketertinggalan dilakukan dengan membangun sekolah, rumah sakit, dan puskesmas.
Abdul Fatah, Bupati Bekasi 1973-1983, membangun kanal Cikarang Bekasi Laut (CBL) untuk mengairi 30 hektar sawah dan mengendalikan banjir tahunan. Selama itu pula dibangun kompleks Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II, stadion, gedung olahraga, dan monumen perjuangan di kawasan Jalan Jenderal Ahmad Yani.
Seiring dengan perkembangan tersebut, wilayah pusat kota dikembangkan menjadi kota administratif, dan pada 1997 statusnya ditingkatkan menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi. Sementara itu, ibu kota kabupaten direncanakan untuk dipindahkan ke Cikarang.
Jasa dan perdagangan
Harapan pembangunan menguat setelah Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi diberikan wewenang untuk mengurus pemerintahan masing-masing pada 1998. Kotamadya Bekasi ditetapkan sebagai kota mandiri, terpisah dari kabupaten. Pemerintah yang baru serta semangat otonomi daerah menggelorakan masyarakat untuk terlibat aktif merumuskan konsep pembangunan.
Wali kota Bekasi pertama, Nonon Sonthanie, yang merupakan mantan Kepala Bappeda dan Wakil Bupati Kabupaten Bekasi, merekrut tim ahli dari kalangan akademisi, pengusaha, hingga aktivis sosial untuk membangun kota yang baru.
”Berdasarkan kajian yang dilakukan berbagai pihak, kami sepakat untuk mengembangkan Kota Bekasi dengan visi pembangunan di bidang jasa dan perdagangan,” kata Abdul Khoir, akademisi yang menjadi salah satu anggota tim penyusun program pembangunan daerah Kota Bekasi pada 1998-2003 dan 2003-2008.
Visi jasa dan perdagangan, kata Khoir, merupakan hasil kajian potensi daerah. Kota Bekasi tidak memiliki sumber daya alam yang potensial. Kegiatan pertanian yang dilakukan warga dilakukan di atas lahan tidur, bukan lahan yang memang ditujukan untuk pertanian.
Untuk mewujudkan visi tersebut, Nonon meprioritaskan kebijakan yang tidak populer, yaitu pelebaran jalan, pembangunan jembatan, serta lintas bawah (underpass). Saat itu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bekasi nilainya sekitar Rp 160 miliar. Namun, Nonon tetap berani melaksanakan pembangunan.
Salah satu hasil pembangunan yang fenomenal adalah pelebaran Jalan Kartini dari 8 meter menjadi 13 meter. Jalan tersebut menghubungkan Jalan Ir H Djuanda dan Jalan Chairil Anwar yang merupakan akses menuju DKI Jakarta dan Kabupaten Bekasi.
Selain itu, ada pula jalan-jalan besar lain, seperti Jalan M Hasibuan, Jalan KH Noer Ali, Lintas Bawah Pasar Baru, dan Jembatan Prisdo.
Untuk pelebaran jalan, Nonon mendekati langsung sejumlah tokoh masyarakat yang tinggal di sekitar Jalan Kartini. Ia meminta kesediaan para pemilik untuk merelakan tanahnya dijadikan jalan.
”Karena keterbatasan dana, pemda memang tidak menganggarkan dana pembelian tanah untuk jalan. Jadi kami meminta kesediaan dan keikhlasan pemilik tanah,” ujar Nonon (Kompas, 25/3/1998).
Struktur organisasi pemerintah juga dibuat untuk memudahkan sektor jasa dan perdagangan. Khoir mengatakan, Dinas Perdagangan dan Koperasi ditunjuk sebagai sektor pemimpin (leading sector) pembangunan.
Penerbitan izin perusahaan dibuat dengan harga murah, pembangunan dan penataan pasar tradisional juga digencarkan. Di samping itu, penambahan jumlah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga digiatkan.
”Di bawah kepemimpinan Nonon Sonthanie, telah diletakkan dasar-dasar pembangunan Kota Bekasi sebagai kota jasa dan perdagangan. Manfaatnya memang belum dirasakan saat itu, tetapi beberapa tahun setelahnya, hasil pembangunan itu terbukti,” ujar Khoir.
Salah satu hasilnya tampak dari peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dari tahun ke tahun. Berdasarkan data tertua yang didokumentasikan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bekasi, pada 2004, PAD mencapai Rp 98,09 miliar. PAD meningkat menjadi Rp 121,77 miliar (2005), Rp 145,73 miliar (2006), dan Rp 171,04 miliar (2007).
Memasuki 2009, PAD Kota Bekasi mencapai Rp 231,69 miliar dan Rp 296,04 miliar pada 2010. Tiga tahun berturut-turut setelahnya peningkatan juga terjadi cukup signifikan, yaitu Rp 568,34 miliar (2011), Rp 730,73 miliar (2012), dan Rp 964,74 miliar (2013). Pada 2014, PAD sudah menembus Rp 1,20 triliun. Begitu juga tahun-tahun setelahnya, Rp 1,49 triliun (2015), Rp 1,60 triliun (2016), dan Rp 1,98 triliun (2017).
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi yang baru dilantik untuk masa jabatan keduanya pada 20 September 2018 mengatakan, visi jasa dan perdagangan itu akan terus dipertahankan. Tidak ada rencana mengganti visi pembangunan karena potensi utama kota ada pada sektor tersebut.
Meski demikian, pembangunan jelas harus terus ditingkatkan. Menurut Pepen, sapaan akrabnya, Kota Bekasi perlu memastikan suasana yang aman dan toleran agar seluruh kegiatan, terutama jasa dan perdagangan, berlangsung kondusif.
”Sudah tidak boleh ada persoalan suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA) di Kota Bekasi. Semua orang dengan berbagai latar belakang memiliki hak yang sama di kota ini,” katanya.
Kini, Kota Bekasi terus optimistis menatap masa depan. Meski harus bersusah payah bangkit dari reruntuhan puing perang dan terlepas dari wilayah ibu kota, darah pejuang yang mengalir dalam tubuh warga telah memotivasi mereka untuk tidak pernah menyerah.