Berlari Estafet untuk Masa Depan di Era Industri 4.0
Tahun ini genap 60 tahun kerjasama bilateral antara Indonesia dengan Jepang. Perayaan kolaborasi di antara kedua negara dilakukan pada Minggu (23/9/2018) pagi lewat lomba lari estafet Kizuna Ekiden 2018 di sekitar pusat belanja Plaza Senayan, Jakarta.
Nilai-nilai persahabatan dan kerjasama tim, dengan empat pelari yang terdiri atas pelari Indonesia dan Jepang, menjadi kelebihan utama lomba lari tersebut. Dua nilai penting untuk dimiliki dalam kerangka kolaborasi kedua negara demi menghadapi gelombang revolusi industri 4.0 di tengah struktur masyarakat jejaring yang sebagian di antaranya memadukan mesin dan manusia dalam jejaring teknologi komputasi.
Sebagian peserta juga sudah bersiap sejak pagi-pagi sekali. Salah seorang di antaranya adalah Ken Nagata (48) yang bekerja di salah satu perusahaan otomotif Jepang, penghasil kendaraan roda empat untuk pasar Indonesia.
Ken yang tinggal di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, berangkat dari kediamannya itu sekitar pukul 03.00 WIB. “Tidak pakai mobil, pakai ini saja,” seloroh Ken sembari menepuk-nepuk pahanya.
Pagi itu, selepas menyantap nasi goreng dan sup miso, Ken berlari menuju kawasan Senayan. Pria asal Nagoya, Jepang yang sudah dua kali turut ajang tersebut sudah tampak dibasahi peluh, sekitar satu jam menjelang dimulainya lomba.
“Bagus untuk kerjasama, ada orang banyak (yang ikut),” kata Ken yang juga penikmat olahraga golf, ihwal ajang tersebut.
Tiga anggota timnya, merupakan pekerja yang berasal dari Indonesia. Menurut Ken, mereka berlatih setiap hari sejak terbentuk sekitar empat bulan lalu.
Tak jauh dari situ, tengah bersiap pula Shohei Ryosho (28) bersama sejumlah rekan kerjanya yang berasal dari Indonesia. Mereka berasal dari perusahaan otomotif penghasil mobil yang berbeda.
Shohei mengatakan, keikutsertaannya sekedar menggantikan rekannya yang berhalangan. “Tapi saya tetap semangat, ini (saya) solider,” ujarnya.
Sementara bagi Kaito Endo (29), Tomoya Seki (28), dan Sakura Ito (31), ajang tersebut mendekatkan mereka dengan konsep pertemanan secara kolektif. Bagi Tomoya, yang sudah dua tahun tinggal di Indonesia dan akan segera kembali ke Tokyo pada pekan depan, ingatannya soal “banyak teman” yang diperolehnya di Indonesia takkan lekang.
“Saya senang sekali bisa hadir di acara ini,” sebut Tomoya. Ia berharap, hubungan kerjasama antara Indonesia dan Jepang terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya.
Sakura, yang menetap di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat merasakan perbedaan utama menggeluti hobi lari antara di Jepang dan Indonesia. Sakura yang mengikuti suaminya tinggal di Indonesia demi menjalankan tugas sebagai tenaga pemasaran sebuah perusahaan penghasil perkakas elektronik itu mengatakan, di Jepang, kecenderungannya adalah sebagain orang berlari secara sendiri-sendiri.
“(Di Indonesia) Larinya (bersama) banyak orang,” tutur Sakura semringah.
Bagi Yuji Oshima (57) yang baru enam bulan tinggal di Indonesia, lomba tersebut merupakan kesempatan bagus untuk bertemu orang-orang lain dari perusahaan berbeda. Yuji bekerja di salah satu perusahaan penghasil aki dan berasal dari Prefektur Tochigi, Jepang.
Adapun bagi peserta asal Indonesia, ajang tersebut berarti mempererat tali persaudaraan dan silaturrahim. Anas Yafid (38) dan Abdullah (39) yang masing-masing bekerja di proyek MRT dan sebuaah perusahaan produsen mesin mengamini hal tersebut. “Komunikasi (di antara rekan sekerja) memang betul bisa jadi lebih akrab lagi,” ujar Abdullah yang sudah dua kali mengikuti ajang tersebut.
Abdullah yang tinggal di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan dan Anas yang berdomisili di Tangerang Selatan, Banten, pagi itu sudah bergerak dari kediaman masing-masing tak lama selepas pukul 05.00 WIB. Peserta lain asal Indonesia dalam ajang itu adalah mantan pemain tim nasional sepakbola Ponaryo Astaman.
Ia tergabung dalam tim bersama Haruka Nakagawa (penyanyi), Yuki Kato (aktris), dan Shohei Matsunaga (pemain sepakbola PSMS Medan). Ponaryo yang baru pertama kali mengikuti ajang tersebut menilai, lomba tersebut memiliki hal unik terkait nilai-nilai kerjasama.
“(Kalau) Latihan, wah, nggak sempat. (Paling) Ketemu aja dulu. Saling menyepakati aja, komunikasi aja,” ujar Ponaryo.
Estafet Semangat
Lomba lari yang diselenggarakan Harian Kompas bersama suratkabar Jepang Mainichi Shimbun itu sudah dilakukan sejak 2014. Secara teknis, pada tahun ini, setiap pelari menempuh rute sekitar 2,7 kilometer mengelilingi kawasan Plaza Senayan.
Dengan demikian, seluruh empat pelari secara akumulatif menempuh jarak sekitar 10,8 kilometer. Sekitar 1.600 pelari mengikuti ajang yang dimulai sejak sekitar pukul 06.30 WIB itu.
Teknisnya, setiap pelari menyelesaikan rute tersebut dengan selempang (tasuki) yang dikenakan. Tasuki, yang belakangan dipegang oleh sebagian pelari itu, selanjutnya diberikan pada pelari 2, 3, dan 4. Jalur khusus yang berbeda dengan pelari 1, 2, dan 3 diberikan pada pelari 4 menjelang garis akhir.
Sepanjang rute tersebut, sejumlah anggota satpam berjaga-jaga. Terutama di kawasan perjumpaan dengan arus lau lintas umum, seperti tatkala berbelok ke arah kiri menuju depan Hotel Atlet Century Park.
Selain itu, beberapa petugas PMI juga tampak berjaga-jaga menangani kondisi tertentu yang dialami sebagian peserta. Ini misalnya seperti tampak di depan pagar kantor Inasgoc, tatkala salah seorang peserta terlihat berselonjor dan melepaskan diri dari barisan pelari.
Sejumlah pemandu sorak menyemangati para pelari. Salah satu yang konsisten dan bersemangat dalam meneriakkan yel-yel dukukungan adalah mereka yang tergabung dalam tim Denso.
Tahun ini, lomba tersebut dimenangkan tim Denso 1 dengan catatan 35 menit 47 detik. Tahun 2016 dan 2017, tim Denso juga menjuarai ajang tersebut. Demikian pula di tahun 2014 dan 2015.
Duta Besar Jepang untuk Indonesia Masafumi Ishii pada kesempatan yang sama mengatakan, ajang tersebut berguna terutama untuk mempertemukan dan memahamkan generasi muda dari kedua bangsa ihwal hubungan kerjasama saling menguntungkan yang telah dijalin. Tentang hubungan dua arah yang saling membantu dan dimungkinkan untuk diperkuat oleh generasi mendatang.
Hal ini terutama jika dikaitkan dengan gelombang revolusi industri 4.0 dimana data raksasa (big data) dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang mewujud dalam sistem cyber physical menjadi penghelanya. Masafumi melihat, pada era industri 4.0 itu, setengah dari korporasi Jepang akan melanjutkan praktik secara relatif sama seperti saat ini, terutama jika dikaitkan dengan kebutuhan infrastruktur dan industri berorientasi ekspor di Indonesia.
Menurut Masafumi, pendekatan mendasar yang dipergunakan adalah mengikuti apa yang dihasilkan masa lalu dan saat ini, untuk melihat apa yang bisa dilakukan pada masa mendatang di era industri 4.0 tersebut. Ia menyebutkan, misalnya, industri manufaktur tradisional seperti pembuatan mobil akan terus berlanjut. Hal ini juga dilihat dari sudut pandang bahwa Indonesia, bagi manufaktur mobil asal Jepang, adalah salah satu basis penting untuk pasar ekspor.
Sementara kemunculan perusahaan-perusahaan, dan industri baru, di bidang teknologi informasi, AI, peningkatan kualitas kehidupan, perawatan kesehatan, dan sebagainya akan terjadi sebagai keniscayaan. Masafumi menambahkan, otomatisasi pada sebagian jenis pekerjaan kini dengan menggunakan teknologi robot AI hendaknya tidak terlalu dikhawatirkan.
Menurutnya, penggunaan robot untuk sebagian jenis pekerjaan memang akan terjadi. Akan tetapi akan ada pula jenis-jenis pekerjaan baru yang dihasilkan.
Teknologi baru dan jenis-jenis pekerjaan baru, juga membawa konsekuensi model pendidikan yang juga baru. Masafumi mengamininya, dan menyebutkan bahwa penekanannya memang harus diberikan pada pendekatan terkait pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Ia mengatakan, hal tersebut bisa dicapai lewat perhatian pada bidang pendidikan kejuruan atau sesuai dengan keahlian yang diharapkan (vokasi).
Lebih jauh Masafumi menegaskan, untuk pemerintah Indonesia, Jepang akan memprioritaskan tiga hal. Investasi, ekspor, dan (pendidikan) vokasi.
“Ini tiga prioritas (yang) sangat penting, dan kami senang untuk membantunya,” sebut Masafumi.
Identitas Bangsa
Ajang tersebut juga mempertemukan kultur Jepang dan Indonesia. Ini terlihat dari budaya populer yang diwakili sejumlah penyanyi pop kedua negara, dan kreasi budaya rakyat (folk) lewat penggunaan alat perkusi kendang dan taiko yang berbentuk serupa drum tetabuhan.
Hal ini turut memperkuat pesan bahwa di tengah terjangan arus globalisasi yang makin didorong perkembangan teknologi informasi, identitas bangsa mesti bisa berdialog secara global. Tentang ini, Masafumi melihat Indonesia mengelola kebudayaan nasional yang sangat beragam dengan baik.
Ia mencontohkan penyelenggaraan Asian Games 2018 yang membuat Indonesia makin bersatu sebagai sebuah bangsa. Kesatuan yang dicapai di tengah beragam perbedaan itu, dalam kacamata Masafumi, bisa menjadi kekuatan tidak hanya di Asia namun juga di dunia.
Sementara Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo yang juga menghadiri ajang tersebut bersama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, CEO Kompas Gramedia Lilik Oetama, dan Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo berharap, ajang tersebut bisa memberikan rasa kebersamaan. Terutama dalam memahami bahwa hubungan pembangunan dan segala sesuatunya itu tidak bisa dilakukan sekaligus, melainkan secara berkesinambungan. Dilakukan secara estafet. (Insan Al Fajri)