Penyandang Disabilitas Sulit Akses Perlindungan Hukum
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyandang disabilitas masih sulit mengakses perlindungan hukum. Kesulitan muncul akibat pengetahuan yang masih kurang terkait disabilitas oleh penegak hukum.
Padahal, hak penyandang disabilitas untuk memperoleh perlindungan hukum dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hak tersebut ditekankan kembali dalam Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani Rotinsulu di Jakarta, Senin (24/9/2018), mengatakan, sejumlah penyandang disabilitas masih menemukan proses penyelidikan dan penyidikan yang lama di dalam ranah perlindungan hukum.
”Belum ada pendekatan khusus untuk penyandang disabilitas yang diterapkan dalam ranah hukum,” katanya di sela-sela Seminar dan Lokakarya Tugas dan Fungsi Kepolisian Republik Indonesia dalam Pelayanan yang Aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
Temuan itu diperoleh dalam penelitian yang dilakukan HWDI, Lembaga Bantuan Hukum Apik (LBH Apik) Pusat, serta Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada 2017. Pemenuhan hak penyandang disabilitas di lingkungan hukum terabaikan, baik dalam hal berkomunikasi maupun penyediaan fasilitas yang sesuai bagi mereka.
Lokasi penelitian berada di Jakarta, Riau, Makassar, dan Kabupaten Takalar (Sulawesi Selatan). Adapun penelitian dilakukan terhadap 23 responden, yang mayoritas adalah perempuan dan anak di bawah umur.
Maulani mencontohkan, pendekatan khusus yang dibutuhkan untuk berkomunikasi adalah menggunakan ahli bahasa isyarat bagi disabilitas rungu dan alat visual bagi penyandang disabilitas grahita. Beberapa waktu lalu, sebuah kasus kekerasan seksual yang dialami seorang disabilitas grahita diketahui melalui media gambar.
Pendekatan khusus dalam berkomunikasi dibutuhkan tidak hanya di lingkungan kepolisian, tetapi juga kejaksaan dan pengadilan. Saat ini, pendekatan khusus tersebut masih bersifat sporadis sebab bergantung dari kesadaran pimpinan pada masing-masing instansi.
Tantangan lain yang dihadapi penyandang disabilitas adalah proses hukum yang lama untuk kejahatan yang menimpa mereka. Terdapat kasus kekerasan seksual yang dialami seorang penyandang disabilitas yang baru diproses setelah ia melahirkan.
Kepala Divisi Hukum (Kadivkum) Polri Irjen Mas Guntur Laupe mengakui, memang ada perlakuan yang tidak berimbang antara masyarakat yang mampu dan penyandang disabilitas. Salah satu penyebabnya adalah pemahaman petugas yang masih minim.
Kendati demikian, undang-undang yang ada telah menekankan konsep berpikir bahwa kaum disabilitas setara dengan manusia yang seutuhnya. Kepolisian pun masih beradaptasi dengan keberadaan penyandang disabilitas di ranah hukum.
”Fasilitas sarana dan prasarana di lingkungan kepolisian masih belum mengakomodasi kebutuhan mereka,” ujar Guntur. Hal itu terlihat dari tidak adanya fasilitas huruf braille dan audio dalam dokumen bagi disabilitas netra, toilet khusus, dan lift di kantor kepolisian.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi, menambahkan, jaminan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas kini menjadi tanggung jawab berbagai instansi yang tertera dalam UU No 8/2016 tersebut. Sebelumnya, perlindungan penyandang disabilitas menjadi ranah dari Kementerian Sosial semata.
Dalam ranah hukum, instansi yang terlibat adalah kepolisian, kejaksaan, peradilan, dan lembaga bantuan hukum swasta. Instansi-instansi tersebut perlu menekankan tiga jenis akomodasi untuk menjamin hak penyandang disabilitas dalam proses peradilan, yakni fasilitas, pelayanan, dan penghilangan stigma.
Berubah
Ketua Umum Perhimpunan Jiwa Sehat Yeni Rosa Damayanti mengatakan, Indonesia telah mengubah konsep berpikir tentang penyandang disabilitas. Hal itu terlihat dari perbedaan antara UU No 4/1997 tentang Penyandang Cacat dan UU No 8/2016.
”UU yang lalu memosisikan penyandang disabilitas sebagai obyek belas kasihan,” ujar Yeni. Konsep yang sekarang digunakan adalah penyandang disabilitas adalah manusia sehingga hak mereka harus terpenuhi.
Dengan demikian, pendekatan yang digunakan kepada penyandang disabilitas dalam berbagai sektor perlu diubah. Jika sebelumnya bantuan diberikan agar disabilitas yang dimiliki hilang, solusi yang kini ditawarkan adalah memperbaiki lingkungan di sekitar penyandang disabilitas. Pendekatan itu akan membuat penyandang disabilitas menjadi bagian dari masyarakat yang dapat berpartisipasi dengan aktif.