Darurat Agraria dan Roh KAA
Global Land Forum yang berlangsung di Gedung Merdeka, Bandung pada 24-27 September 2018 diharapkan dapat menghasilkan solusi atas masalah ketimpangan penguasaan tanah.
Meski Belanda tak lagi menguasai negeri ini, ternyata tuan tanah dalam wajah baru tetap hadir. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berkali-kali membuka angka yang menyatakan ketimpangan penguasaan tanah antara sekelompok kecil pemodal besar dibandingkan rakyat. Potret lahan juga diwarnai lumuran darah dan kekerasan. Konflik atas tanah terus menjadi catatan hitam sejarah dunia sejak gelombang kolonialisme lahir.
Hari Senin (24/9/2018) di Bandung, Jawa Barat, dibuka Global Land Forum yang berlangsung di Gedung Merdeka hingga tanggal 27 September mendatang. Tema kali ini, “United for Land Rights, Peace and Justice” (Bersatu untuk Hak atas Tanah, Perdamaian dan Keadilan) bertujuan untuk mempromosikan tata kelola pertanahan untuk mengatasi ketimpangan, kemiskinan, permasalahan konflik agraria, kerusakan ekologis, pelanggaran hak asasi manusia dan pembangunan pedesaan. Sekitar 550 peserta dari 84 negara hadir dalam acara tersebut. Mereka berasal dari beragam organisasi pemerintah, non-pemerintah, dan kelompok masyarakat sipil.
Mengenai akses perhutanan sosial, hingga pekan lalu baru ada sekitar 1,9 juta hektar akses perhutanan sosial yang dibagikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK) kepada yang tinggal di kawasan hutan dan sekitarnya. Luasan itu merupakan bagian dari 12,7 juta hektar yang dijanjikan pemerintah, dengan pencadangan mencapai 13,8 juta hektar.
Ketimpangan penguasaan hutan produksi amat mencolok, sekitar 95,76 persen dikuasai sekitar 100 pemodal besar. sementara rakyat hanya mengelola 4,24 persen. Adapun hutan adat yang ditetapkan hingga saat ini berjumlah 24 hutan adat dengan luas total 13.982,8 hektar. Pemerintah juga mengeluarkan wilayah adat Pandumaan-Sipituhuta seluas 5.172 hektar dari lahan konsesi perusahaan PT Toba Pulp Lestari, tetapi hingga kini wilayah tersebut belum juga ditetapkan sebagai hutan adat.
Sementara, catatan konflik agraria tak pernah mendapatkan jawaban tuntas. Wajah-wajah aparat keamanan terus menerus hadir sebagai aktor pelaksana kriminalisasi rakyat, dengan perpanjangan tangan hakim nyaris tak ada rakyat yang dikriminalkan luput dari hukuman. Laporan resmi oleh Komisi Nasional (Komnas) HAM melalui Inkuiri Nasional pun tak pernah disentuh untuk diselesaikan.
Ketidakadilan agraria di Indonesia telah berakar lebih dari 70 tahun lalu diawali dengan pembukaan perkebunan sejalan kebijakan cultuur stelsel Pemerintah Belanda. Pemerintahan Presiden Joko Widodo berupaya membayar utang agraria warisan era kolonial tersebut. Namun rupanya upaya tersebut lebih berbobot politis sebab ketika jatuh ke tataran praktis, jalan bagi rakyat mendapatkan keadilan agraria ibarat jalan terjal, licin, dan beranjau.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi tegas menunjuk empat jalur untuk mendapatkan keadilan agraria adalah jalan yang mustahil. Mustahil karena semua penguasa jalan tak saling mengulurkan tangan untuk menyelesaikan tumpang tindih klaim, tumpang tindih izin, dan pelanggaran HAM terutama terhadap komunitas adat atau masyarakat adat.
Komunitas lokal hutan dan masyarakat adat terus mengalami pengusiran demi pengusiran, atau bila pun ada ganti rugi maka sifatnya adalah ganti rugi tanpa pemberdayaan yang justru menjerumuskan ke lembah kemiskinan. Pemberian uang tanpa pemberdayaan hanya mendorong masyarakat menjadi konsumtif sementara mereka tak punya lagi lahan sebagai alat produksi. Masyarakat yang semula mandiri secara ekonomi, terjerat dan berubah menjadi tergantung kepada pihak lain ketika hanya bisa menjadi buruh perkebunan atau pabrik kayu.
Kriminalisasi
Di sisi lain para aktivis pejuang hak atas tanah dan aktivis lingkungan menjadi sasaran kriminalisasi. Pembelaan dengan peraturan anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Againts Public Participation) tak kunjung hadir. Peraturan anti-SLAPP dibutuhkan sebagai implementasi Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 66 itu menyebutkan, setiap orang yang memperjuangkan hak lingkungan hidup yang baik dan sehat yang didasarkan pada itikad baik tidak dapat dituntut secara pidana atau pun digugat secara perdata.
Di seluruh dunia, menurut Direktur International Land Coalition Michael John Taylor, 207 orang mengalami kriminalisasi dan 66 orang terbunuh aktivitas memperjuangkan hak rakyat atas tanah. Di Indonesia, ironisnya, aparat keamanan yang bekerja sebagai satuan pengamanan perusahaan pada akhirnya menjadi wakil kehadiran negara alih-alih negara hadir untuk rakyat yang nirakses dan kapasitas. Bahkan Pelapor Hak Asasi Manusia PBB Victoria Tauli-Corpuz, di Oslo, Norwegia pada Juni lalu mengatakan, sekitar 200 orang dibunuh karena aktivitas memperjuangkan hak rakyat atas tanah.
Kesungguhan Presiden
Dengan tumpukan persoalan agraria yang bersifat darurat kronis, maka tak ada jalan lain kecuali Presiden Jokowi turun tangan untuk menunjukkan kesungguhannya. Jika perlu, Presiden bisa mengulang “kunci sukses” memindahkan pedagang klitikan di Solo, Jawa Tengah-menjamu hingga puluhan kali agar pedagang paham pada kebijakan Walikota Solo Joko Widodo.
Jika perlu, Presiden juga bisa “menjamu” para pengusaha penguasa lahan dan empat menteri terkait. Mungkin perlu ada upacara ketuk pintu untuk membuka rasa keadilan mereka. Jalan kemanusiaan pernah dilakukan Nelson Mandela saat melakukan kebijakan rekonsiliasi Afrika Selatan.
Jangan sampai sejarah yang telah tertulis dengan tinta emas: untuk pertama kalinya dalam 71 tahun masyarakat adat mendapatkan kembali hutan adatnya sebagai ruang hidupnya tercoreng. Jangan sampai Reforma Agraria yang dijanjikan akan diakselerasi ini hanya menjadi kedok berutang pada Bank Dunia tanpa nantinya menyentuh langsung kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan dan sekitarnya. Masyarakat yang dalam statistik tercatat dalam kelompok rakyat miskin.
Sepantasnyalah momentum di Gedung Merdeka kali ini menjadi acara yang mewarisi roh dan semangat Konferensi Asia Afrika. Semoga pada eranya, Presiden Jokowi bukan sebaliknya mencoreng semangat keadilan dan penghormatan akan hak asasi manusia yang dilahirkan di Gedung Merdeka 63 tahun lalu, yang telah diakui sebagai warisan dunia….