JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah telah meluncurkan Proyeksi Penduduk 2015-2045. Namun, parameter yang digunakan, khususnya tingkat fertilitas (total fertility rate/TFR), menimbulkan perdebatan. Perbedaan acuan TFR memengaruhi hasil proyeksi dan berdampak pada ketepatan perencanaan pembangunan.
Peluncuran Proyeksi Penduduk 2015-2045 dilakukan di Istana Wakil Presiden, Agustus lalu. Proyeksi yang dibuat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Badan Pusat Stastistik itu disusun berdasar hasil Survei Penduduk Antarsensus (Supas) 2015.
Hasil Supas 2015 menunjukkan TFR Indonesia 2,28 anak. TFR itu menunjukkan jumlah rata-rata anak per perempuan usia 15-49 tahun. Pada 2015, TFR diproyeksikan sudah mencapai 2,17 anak.
Sementara TFR dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 yang dilakukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencapai 2,4 anak. Penggunaan acuan TFR, dari hasil Supas 2015 atau SDKI 2017, masih diperdebatkan para ahli.
“Penggunaan TFR dari hasil Supas membuat proyeksi penduduk terlalu optimis. Jika tidak tercapai sesuai proyeksi, pemerintah akan kerepotan menyediakan layanan dasar khususnya bagi balita,” kata Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) Sudibyo Alimoeso di Jakarta, Senin (24/9/2018).
SDKI adalah metode yang didesain mengukur fertilitas dengan lengkap dan dipakai secara internasional. Sejumlah ahli demografi memilih SDKI guna mengukur TFR karena lebih bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dibandingkan Supas.
Direktur Perencanaan Kependudukan dan Perlindungan Sosial, Kementerian PPN/Bappenas Maliki menilai struktur sampel SDKI sangat spesifik untuk rumah tangga yang akan diintervensi program KB dan sebagian indikator kesehatan.
Sementara Sensus Penduduk dan Supas cakupannya lebih ke populasi umum, termasuk struktur keluarga yang tidak biasa misalnya mereka yang melajang. "Kondisi itu membuat ada kelompok populasi yang tidak terwakili dalam SDKI," katanya.
Situasi itu membuat metode sensus dan Supas tidak bisa digunakan bersama dengan metode SDKI untuk menyusun proyeksi penduduk. Karena itu, Proyeksi Penduduk 2015-2045 hanya menggunakan metode sensus dan Supas saja, sedangkan Proyeksi Penduduk 2010-2035 masih tercampur dengan SDKI yang justru menimbulkan kerawanan secara metodologi.
Intervensi program
Perbedaan acuan TFR itu dikhawatirkan membuat program intervensi pemerintah tidak tepat. Dengan beda TFR 2,17 dan 2,4, ada selisih jumlah kelahiran sekitar 400.000-500.000 bayi setiap tahun. Kondisi itu berbahaya karena bisa membuat banyak anak balita tak terjangkau program pemerintah.
“Perencanaan penyiapan fasilitas layanan kesehatan bagi ibu hamil, penghitungan jaminan sosial, imunisasi, bantuan makanan pengganti ASI atau bantuan gizi, hingga pendirian lembaga pendidikan anak usia dini bisa kurang dari jumlah balita yang ada,” kata Sudibyo.
Menurut Maliki, ketidaktepatan program itu tidak perlu dikhawatirkan karena proyeksi penduduk dan SDKI memiliki fungsi berbeda. "Proyeksi penduduk hanya digunakan sebagai indikator untuk melihat gambaran dan struktur populasi umum saja. Namun untuk intervensi program, memilih kelompok sasaran yang tepat, tetap harus memakai SDKI," tambahnya.
Kontrovesi perbedaan penggunaan data SDKI dan Supas bukan terjadi kali ini saja. Saat SDKI 2012 diluncurkan, angka kematian ibu melahirkan (AKI) tercatat 359 ibu per 100.000 kelahiran hidup dan mengagetkan banyak pihak karena pada SDKI 2007 hanya 228 per 100.000 kelahiran hidup. Setelah hasil Supas 2015 terbit, pemerintah justru sering memakai data AKI hasil Supas sebesar 305 per 100.000 kelahiran hidup.
Selain ketidaktepatan program, beda acuan antara Supas dan SDKI juga dikhawatirkan membuat sejumlah lembaga pemerintah kesulitan mencapai target kinerjanya. Dalam Proyeksi Penduduk 2015-2045, pemerintah menargetkan penduduk tumbuh seimbang dengan TFR 2,1 pada 2020.
Secara sederhana, penduduk seimbang diartikan satu penduduk meninggal akan digantikan satu penduduk baru. Jika TFR lebih dari 2,1, ledakan penduduk muda akan terus terjadi dan menyulitkan negara. Sebaliknya jika TFR kurang dari 2,1, penduduk tua akan melonjak dan penduduk produktif tumbuh melambat.
Target penduduk seimbang itu ditetapkan guna menjaga penduduk tetap tumbuh hingga Indonesia tidak kekurangan tenaga kerja produktif seperti yang dialami negara maju.
Untuk mencapai TFR 2,1 dari TFR 2,17 atau 2,4 dalam waktu dua tahun, tentu membutuhkan kegigihan upaya dan strategi berbeda. "BKKBN tetap menggunakan TFR 2,4 pada 2017 dan ditargetkan turun jadi 2,3 pada 2019," kata Pelaksana Tugas Kepala BKKBN Sigit Priohutomo.
Sembari itu, BKKBN juga ingin terlibat dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia, mulai dari menekan kematian ibu dan balita, pencegahan anak pendek atau stunting hingga pembangunan keluarga untuk menyiapkan manusia yang berkualitas demi menyongsong puncak bonus demografi.
Karena itu, penggunaan proyeksi penduduk maupun SDKI perlu dilakukan secara bijak. Dengan demikian, penggambaran populasi umum dan intervensi program bisa berjalan bersama.