Larangan Mobil Pribadi Diperluas, Warga Marah
Keinginan pemerintah daerah menjadikan Oslo, Norwegia, sebagai kota hijau mendapat tentangan cukup keras dari warganya. Mereka menyebut rencana ini sebagai “perang terhadap mobil”dan merebut kebebasan individu.
“Kita harus mengembalikan kota kepada warga, sehingga anak-anak bisa bermain dengan aman, demikian juga orang tua bisa mempunyai bangku lebih banyak untuk mereka duduk-duduk,” kata Hanna Marcussen, di luar Balaikota Oslo.
Baru-baru ini lapangan berbatu dekat Balaikota ditutup untuk kendaraan. "Anda harus menghilangkan mobil yang telah menyita banyak ruang secara tak semestinya,” ujar Marcussen, penasihat kota yang bertanggung jawab atas pengembangan kota.
Kita harus mengembalikan kota kepada warga, sehingga anak-anak bisa bermain dengan aman.
Ibu kota Norwegia yang berpenduduk sekitar 635 ribu jiwa ini sedang dirancang menjadi kota “terhijau”. Pemda melakukan sejumlah hal dan sebagian kini masih menjadi perdebatan hangat.
Oslo memang ambisius untuk mengurangi emisi kanrbon dioksida hingga 95 persen pada tahun 2030. Kota ini sudah menghapus 700 tempat parkir, mengatur kembali zona pusat kota, mengubah jalanan menjadi pedestrian, serta menaikkan denda saat jam sibuk.
Sebuah rancangan baru mengundang perdebatan ketika pemda akan melarang sama sekali kendaraan masuk ke pusat kota. Kawasan ini berukuran kecil, seluas 1,9 kilo meter persegi.
Di situ ada sekitar 5.500 penduduk dan 120.000 pekerja. Mobil yang boleh melintas hanyalah taksi, kendaraan untuk penyandang disabilitas, dan kendaraan darurat. “Dalam tahun 2020 kami akan menghapus mobil-mobil pribadi,” kata Marcussen. Anggota parlemen menyebut rencana ini sebagai “Tembok Berlin melawan pengendara”. Di sekitar area itu kini sudah bermunculan kafe, furniture luar ruang, jalur sepeda, dan tempat sandar sepeda.
Ibu kota hijau
Komisi Uni Eropa mendesain Oslo sebagai “Ibu kota Hijau Eropa” pada tahun depan. Oslo berharap langkah ini akan memurnikan udara, sekaligus mendorong berkembangnya aktivitas budaya dan mengurangi karbon dioksida. Kota ini diharapkan bisa memelopori tren bagi kota-kota besar seperti Paris, Madrid, Brussels, dan Helsinki yang berupaya untuk mengubah masyarakat yang suka bermobil.
Tidak semua warga mendorong perubahan. “Yang paling tragis dari perang terhadap mobil ini adalah para politisi menyerang kebebasan warga dan dompet mereka,” papar Jarle Aabo. Eksekutif hubungan masyarakat ini menulis buletin berjudul “Ya untuk Mobil di Oslo”. Dia mempunyai 23.000 anggota di Facebook yang sering melontarkan kata-kata keras terhadap rencana pemerintah Oslo.
"Apa yang ditakutkan warga adalah bahwa pusat kota Oslo akan mati, akan menjadi tempat yang sangat muram,” ujar Aabo.
Yang paling tragis dari perang terhadap mobil ini adalah para politisi menyerang kebebasan warga dan dompet mereka.
Christopher Olsson berpendapat sebaliknya. "Akan menyenangkan,” kata fotografer yang sering bersepeda di kota ini. "Ada banyak konflik antara pengendara motor dan pengendara sepeda.”
Kendati demikian, Olsson mengingatkan tentang perbaikan transportasi publik sebelum melarang mobil pribadi. Bukan hanya tentang ketersediaan yang dianggap belum memadai, tetapi juga ongkos tiket yang terlalu mahal. Untuk satu kali perjalanan misalnya, diperlukan tujuh euro. Warga juga harus “tersiksa” menunggu kendaraan umum pada saat musim dingin, ketika suhu berada di bawah nol derajat celcius.
Keberatan dilontarkan pula oleh pemilik toko dan pelangganya. “Kami menjual barang-barang yang tidak bisa dibawa dengan berjalan kaki, kebanyakan barang dibawa mengandalkan mobil,” tutur seorang pemilik toko.
Sebuah tempat penjualan tempat tidur dekat Balaikota yang termasuk dalam zona larangan bermobil, sejak 1 Juni, tampak kosong. Dua butik tak jauh dari tempat itu juga tutup. Pembeli memilih untuk berbelanja di pusat perbelanjaan di luar kota.
“Restoran-restoran, kafe, dan bar kemungkinan mendapat untung, tetapi tidak demikian untuk toko-toko tertentu. Kami kehilangan keberagaman,” kata Terje Cosma, pemilik toko.
Marcussen tetap yakin dengan kebijakan pemda. “Dengan atau tanpa mobil, pusat kota selalu berubah bentuk dari waktu ke waktu,” tegasnya. “Kalau ada satu tempat yang toko-toko akan tetap memiliki kinerja bagus, tempatnya ya di pusat-pusat kota. Anda bisa menggabungkan belanja dengan rekreasi hingga jalan-jalan ke peristiwa budaya atau restoran,”kata Marcussen. (AFP)