Merangkak Naik, Harga Minyak Diprediksi Tembus 100 Dollar AS
Oleh
Benny Dwi Koestanto
·2 menit baca
Harga minyak melonjak lebih dari 2 persen ke level tertinggi selama empat tahun pada Senin (24/9/2018) setelah Perhimpunan Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) menolak mengumumkan peningkatan produksi meskipun ada permintaan dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump agar OPEC meningkatkan pasokan global. Harga minyak bahkan diprediksi menembus 100 dollar AS per barel pada awal tahun depan.
Harga minyak mentah Brent menyentuh harga tertinggi sejak November 2014 di level 80,94 dollar AS per barel, naik 2,14 dollar AS per barel atau 2,7 persen sebelum kemudian turun lagi ke 80,65 dollar AS per barel. Minyak WTI juga naik 1,71 persen ke level 71,99 dollar AS per barel.
”Saya tidak memengaruhi harga,” kata Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih ketika para menteri energi OPEC dan non-OPEC berkumpul di Aljazair untuk sebuah pertemuan yang berakhir tanpa rekomendasi resmi penambahan pasokan.
Melalui Twitter pekan lalu, Trump mendesak OPEC untuk menurunkan harga minyak. Namun, menurut Menteri Perminyakan Iran Bijan Zanganeh, OPEC tidak menanggapi permintaan Trump secara positif. Kondisi itu memicu spekulasi tentang arah harga minyak pada masa depan.
Para pedagang komoditas Trafigura dan Mercuria mengatakan, harga minyak Brent bisa naik menjadi 90 dollar AS per barel pada Natal dan menembus harga 100 dollar AS pada awal 2019. Hal itu terjadi terkait kondisi pasokan yang mengetat setelah sanksi AS terhadap Iran sepenuhnya dilaksanakan mulai November.
Al-Falih menilai kenaikan produksi pada masa depan cukup terbuka karena pasokan semakin ketat. Hal itu diperkirakan terjadi seiring AS yang memberlakukan sanksi terhadap minyak Iran November tahun ini. ”Arab Saudi dan Rusia menegaskan, mereka tidak meningkatkan produksi dan hal ini adalah berita buruk bagi Presiden Trump karena ia menginginkan harga minyak lebih rendah, yang baik untuk bisnis,” kata analis CMC Markets David Madden. ”Pekan lalu, Trump menyerang OPEC. Pelaku pasar berpikir kita mungkin melihat peningkatan pasokan dari sekutu AS di Timur Tengah.” (REUTERS)