Problem jagung dan pakan dinilai bakal menekan industri pakan dan peternakan unggas nasional. Produksi jagung diklaim cukup, tetapi harganya terus naik belakangan ini.
JAKARTA, KOMPAS - Kenaikan harga jagung dua bulan terakhir telah mendongkrak harga pakan sekaligus ongkos produksi ternak unggas. Para peternak mengeluh karena pada saat yang sama harga jual hasil ternak justru turun terutama telur ayam.
Sejumlah peternak ayam yang ditemui di Jawa Timur dan Banten sepekan terakhir mengeluhkan kenaikan harga jagung dan pakan. Di Mantup, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, harga jagung di peternak naik dari Rp 3.500-3.600 per kilogram (kg) jadi Rp 4.700-4.800 per kg, sementara pakan ayam naik rata-rata Rp 500 per kg sebulan terakhir.
Adapun harga jual telur ayam justru turun. Menurut Bagus Sugiharto, peternak di Donomulyo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, harga telur turun dari Rp 19.000 per kg jadi Rp 15.300-15.700 per kg beberapa bulan terakhir. Angka itu lebih rendah dari ongkos produksinya yang mencapai Rp 17.500 per kg.
Di Serang, Banten, menurut Direktur CV Hiber Jaya, Rudi Chandra, harga jagung saat ini berkisar Rp 5.000-5.250 per kg. "Sebelumnya, harga jagung Rp 4.000-4.500 per kg," kata peternak di Lebakwangi, Kecamatan Walantaka, Kota Serang itu.
Situasi harga jagung berkebalikan dengan data produksi yang diklaim Kementerian Pertanian mencukupi kebutuhan. Tahun ini, produksi jagung bahkan diproyeksikan 30,05 juta ton. Padahal, industri pakan dan sektor peternakan nasional, penyerap terbesar produksi jagung, hanya butuh 600.000-800.000 ton per bulan atau 7,2-9,6 juta ton setahun. Artinya, produksi semestinya cukup dan sisa jutaan ton.
Di atas acuan
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan 58 Tahun 2018, harga acuan jagung di tingkat pabrik ditetapkan Rp 4.000 per kg. Namun, harga jagung dengan kadar air 15 persen di gudang pabrik di sentra produksi pakan seperti Banten, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara umumnya telah lebih dari Rp 4.000 per kg pada Juli 2018 dan kini lebih dari Rp 5.000 per kg.
Menurut Penasihat Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT), Sudirman, tidak terpenuhinya kebutuhan jagung dalam negeri tercermin dari harganya yang tinggi dan sulitnya mendapatkan jagung pakan. "Kami bisa menoleransi harga Rp 4.200 per kg, tetapi saat ini harganya telah mencapai Rp 5.200 per kg," kata Sudirman, akhir pekan lalu.
Menurut Sudirman, industri pakan tidak keberatan menyerap produksi jagung dalam negeri. Namun, penghentian impor seharusnya disertai perencanaan rinci terkait lahan, petani, benih, dan teknologi yang menjamin ketersediaan jagung.
Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Agung Hendriadi, menilai perusahaan pakan ternak sudah mendapatkan suplai yang cukup sepanjang 2018. Dengan kebutuhan jagung pakan sekitar 600.000 ton per bulan, artinyajumlah jagung yang terserap GPMT mencapai 5,4 juta ton. "Dengan proyeksi produksi jagung 30 juta ton dan kebutuhan kira-kira 20 juta ton, kebutuhan jagung dapat terpenuhi," kata Agung di Jakarta, Senin (24/9/2018)
Terkait harga jagung, Agung menyoroti peran distribusi dan adanya aspek keuntungan yang terlalu tinggi. Menurut dia, harga jagung Rp 4.000 per kg di tingkat petani masih tergolong wajar.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullahberpendapat, jika tidak ada solusi atas kenaikan harga dan ketersediaan jagung pakan, inflasi akhir tahun akan melonjak. Ia khawatir, daging ayam dalam negeri yang harganya berpotensi meningkat itu harus bersaing dengan paha ayam impor dari Amerika Serikat (AS). Peternak bakal semakin rugi.