JAKARTA, KOMPAS - Di saat semangat menata ibu kota tengah tinggi, termasuk mengembalikan segala sesuatu sesuai fungsinya, tetap saja pelanggaran di sana sini terjadi dan tidak terjamah hukum. Tengok saja di seputaran Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat yang trotoarnya kini bersih dari pedagang kaki lima juga pedagang tanaman hias. Sebagian pedagang itu kini telah direlokasi sementara untuk dicarikan relokasi permanennya. Pejalan kaki bebas melenggang di sana, wajah kota makin cantik.
Namun, coba saja melipir di tepi Kanal Banjir Timur (KBT), khususnya wilayah RT 18 RW 06, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur. Setiap sore pukul 17.00, di kawasan itu dipadati pedagang kaki lima. Ratusan pedagang menjajakan berbagi jenis dagangan di tepi sungai itu hingga larut malam.
Pantauan pada Senin (24/9/2018) pukul 11.00, terdapat puluhan plang berwarna putih yang bertuliskan "tanah negara, dilarang masuk atau dimanfaatkan". Terdapat pula tulisan berisi ancaman pidana bagi siapapun yang masuk atau memanfaatkan tanah itu.
Namun, terdapat beberapa warga yang manfaatkan lokasi itu untuk membuka usaha seperti warung kopi, kamar-kamar kos, beternak unggas, hingga dimanfaatkan sebagai lahan parkir.
Upaya untuk mendapatkan informasi tentang pemanfaatan lahan ini pun sia-sia. Sebagaian besar warga yang tinggal di sekitar lokasi itu saat ditanya rata-rata menjawab tidak tahu.
"Tanya di orang lain saja mas, saya tidak tahu," ucap salah satu wanita pemilik warung kopi di sekitar tepi sungai KBT itu.
Ricky (48) salah satu tukang ojek yang biasanya mangkal di sekitar tepi KBT, mengatakan, tempat ini sudah lebih dari lima tahun dimanfaatkan sebagai tempat berjualan oleh para pedagang kaki lima.
"Rata-rata orang dari luar yang jualan di sini. Tapi kalau soal izin (pemanfaatan lahan), saya enggak tahu," ucap lelaki asal Tegal, Jawa Tengah itu.
Salah satu warga yang membuka usaha toilet umum di sekitar tepi sungai BKT menambahkan, kawasan yang menjadi tempat para PKL menjajakan berbagai jenis barang dagangannya, dulu merupakan kawasan pemukiman warga. Namun, tempat itu digusur pada tahun 2005, di zaman pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso untuk direvitalisasi.
"Pedagang di sini jualannya buka tutup. Tidak ada yang berani buat bangunan permanen. Takut kalau digusur lagi," ucap lelaki berusia 45 tahun yang menolak disebutkan namanya itu.
Saat mencoba mencari informasi ke Ketua RW 06 sebagai pemimpin wilayah administratif di sekitar tepi KBT, namun tidak berhasil ditemui karena tidak berada di tempat.
Dari sisi penggunaan ruang kota, semestinya tidak masalah jika tepian KBT ditata dan dibagi peruntukkannya. Kanal tetap akan memiliki ruas akses untuk inspeksi kondisi kanal, semisal untuk bersih-bersih saluran atau perbaikan fasilitas saluran itu sendiri. Di sisi lain, lahan tersisa tetap dapat digunakan untuk area olah raga terbuka bagi publik yang dilengkapi dengan area komersial setingkat usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Asal tidak mengganggu fasilitas dan fungsi kanal, juga akses publik terhadap kawasan tepian kanal yang seharusnya memang menjadi ruang terbuka hijau, peruntukan untuk kawasan komersial bekerjasama dengan pemodal besar dari kalangan swasta pun tak masalah dilakukan.
Sekarang, tinggal siapa yang seharusnya berperan aktif menata ruang itu? Pemerintahlah jawabnya. Pemerintah dari tingkat kelurahan hingga kota dan provinsi. Namun, sepertinya tangan dan ketegasan pemerintah tak tampak di KBT. (STEFANUS ATO)