Transparansi Rekam Jejak Jadi Kunci Cegah Koruptor Terpilih Kembali
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Agung yang tak melarang bekas narapidana kasus korupsi mencalonkan diri menjadi anggota legislatif dan situasi pemilih yang tak kritis terhadap rekam jejaknya dikhawatirkan membuka peluang bekas koruptor itu kembali mengulangi kejahatannya.
Transparansi rekam jejak calon menjadi kunci agar masyarakat tak terjebak memilih calon anggota legislatif (caleg) bekas narapidana kasus korupsi.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas, Selasa (25/9/2018), menganggap, hakim Mahkamah Agung (MA) tak memiliki kepekaan moral dan kedalaman refleksi dalam melihat suatu perkara. ”Yang saat ini terjadi, hakim hanya berfungsi sebagai corong undang-undang,” kata Busyro saat membuka diskusi di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Selasa.
MA mencabut Pasal 4 Ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 pada Kamis (13/9/2018). Putusan uji materi itu membatalkan pasal yang melarang bekas narapidana korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak menjadi caleg karena bertentangan dengan UU Pemilu.
Putusan itu berpotensi semakin mengikis kepercayaan masyarakat terhadap anggota legislatif dan partai politik (parpol) yang sudah merosot tajam karena maraknya kasus korupsi. Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menyebutkan, saat ini ada 38 caleg bekas narapidana kasus korupsi yang berasal dari 12 parpol.
Hal itu membuktikan, sejumlah parpol dengan cepat segera memanfaatkan celah kosong Peraturan PKPU No 20/2018 yang dibatalkan MA. Parpol juga sengaja mengingkari pakta integritas untuk tidak mengajukan bekas narapidana korupsi menjadi caleg.
Momentum perbaiki citra
Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch, Almas Sjafrina, menyayangkan, parpol tak mengambil momentum pascaputusan MA untuk memperbaiki citra. Ia mengatakan, tak ada jaminan seorang narapidana korupsi tak mengulang kejahatannya jika kembali menjabat posisi strategis.
”Apa gunanya koruptor tak boleh jadi pengajar atau hakim jika kini mereka bisa jadi wakil rakyat yang suaranya justru lebih berpengaruh daripada kedua jenis profesi itu,” kata Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah Maneger Nasution.
Menurut Maneger, MA dalam putusannya memilih pendekatan positivistik untuk menyikapi perkara itu. ”Sikap MA itu membuatnya tercerabut dari akar moral dan kehilangan sensitivitas untuk merasakan keprihatinan publik terhadap maraknya praktik korupsi,” ujarnya.
Tak kritis
Celah peraturan bagi bekas narapidana kasus korupsi untuk mengajukan diri sebagai anggota calon legislatif tak akan berpengaruh besar jika masyarakat kritis terhadap rekam jejak calon. Namun, pemilih Indonesia belum berada dalam taraf ideal itu.
Ia menyebutkan, setidaknya ada tiga faktor penyebab bekas narapidana kasus korupsi kembali dicalonkan menjadi anggota legislatif. Jabatan elite partai yang pernah digenggam, popularitas tinggi, dan jaringan kuat merupakan faktor yang membuat bekas narapidana kasus korupsi kembali dilirik parpol.
Titi mengatakan, situasi pemilih yang tak kritis terhadap rekam jejak calon itu jadi celah lain bagi parpol kembali mendudukkan bekas koruptor ke kursi wakil rakyat. Oleh karena itu, ia mendorong KPU segera mencantumkan rekam jejak calon di situs resmi agar mudah dilacak masyarakat.
Selain soal transparansi rekam jejak, Titi berharap rencana memberi tanda khusus di kertas suara caleg bekas narapidana kasus korupsi benar-benar dilaksanakan. ”Para bekas narapidana kasus korupsi itu sudah berani mengajukan diri kepada publik agar dipilih. Jadi, tak ada salahnya juga menuntut mereka terbuka kepada publik,” katanya. (PANDU WIYOGA)