NEW YORK, SENIN -- Turki ingin memperluas zona demiliterisasi pada wilayah perbatasannya dengan Suriah. Langkah itu dinyatakan sebagai upaya mencegah teror.
Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan mengatakan, zona baru itu akan terbentang di sisi sebelah timur Sungai Eufrat. “Di masa depan kita akan menambah zona aman di Suriah, melintasi timur Eufrat,” ujarnya, Senin (24/9/2018), di New York, Amerika Serikat.
Pekan lalu, Turki dan Rusia menyepakati zona demiliterisasi di Idlib, Suriah. Lewat kesepakatan itu, ada zona bebas senjata baik dari kubu pasukan pemerintah Suriah dan penyokongnya maupun dari kubu milisi oposisi dan pendukungnya.
Erdogan menyatakan, wilayah lain di perbatasan Turki dan Suriah juga akan dibersihkan dari teroris. Tidak ada wilayah Suriah akan jadi koridor teroris.
Bagi Turki, militan Kurdi merupakan kelompok teroris. Sementara AS menganggap milisi Kurdi sebagai mitra dalam perang melawan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS). AS mempersenjatai milisi Kurdi karena perang itu.
Selepas NIIS dinyatakan kalah dan AS mengurangi kekuatan di Suriah, Turki pada awal tahun ini menginvasi wilayah Suriah yang dikontrol Kurdi. Wilayah itu antara lain berada di Provinsi Afrin di Suriah.
Setelah mengusir milisi Kurdi dalam operasi berkode "Perisai Eufrat" pada awal tahun 2017, Turki membentuk pemerintahan lokal yang bisa mereka kendalikan di wilayah yang mereka kuasai. Pemerintahan itu dilindungi oleh pasukan Turki. Manuver itu juga dilakukan Turki di Afrin.
Turki berulang kali menyanggah menginvasi Suriah. Ankara selalu menyatakan, operasi militer di Afrin demi melawan teroris, baik militan Kurdi maupun NIIS.
Sementara itu, pejabat urusan hubungan luar negeri Kurdi, Abdulkarim Omar, meminta berbagai negara segera mengambil warganya yang pernah jadi milisi NIIS. Kini, pasukan Kurdi di Suriah menahan 500 milisi NIIS dan keluarganya. Para milisi itu merupakan warga asing yang berasal dari banyak negara.
“Bagi kami ini jumlah besar. Mereka bahaya dan terlibat pembantaian, keberadaan mereka di tempat penahanan kami adalah kesempatan bagi komunitas internasional untuk membawa mereka ke pengadilan,” ujarnya.
Omar menyebut negara yang sudah menjemput keluarga militan NIIS antara lain Rusia dan Indonesia. “Kami tidak bisa menanggung ini sendirian. Masalah ini tidak kalah bahaya dibandingkan NIIS,” ujarnya.