Akibat Blokade dan Pengurangan Bantuan, Ekonomi Jalur Gaza Ambruk
Oleh
Benny Dwi Koestanto
·3 menit baca
NEW YORK, SELASA — Bank Dunia pada Selasa (25/9/2018) memperingatkan kondisi perekonomian Jalur Gaza sedang ”jatuh bebas” karena pemotongan bantuan dan gaji telah menambah beban akibat blokade Israel yang sudah melumpuhkan wilayah yang dikuasai Hamas itu. Peringatan itu akan disajikan Bank Dunia kepada kelompok donor internasional untuk Palestina, yang dikenal sebagai Komite Penghubung Ad Hoc, pada pertemuan di New York, Kamis (27/9/2018), di sela-sela Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pertemuan diadakan bertepatan dengan berlangsungnya pidato-pidato di sidang umum. Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu termasuk dua pemimpin negara yang akan menyampaikan pidato di Sidang Majelis Umum PBB.
Dalam kondisi tertekan akibat blokade Israel selama lebih dari satu dekade, ekonomi Gaza semakin mengkhawatirkan oleh pemotongan bantuan AS dan kebijakan keuangan otoritas Palestina di bawah Abbas. Abbas telah berusaha untuk menekan gerakan Hamas di Gaza serta menghemat biaya. Menurut Bank Dunia, ia telah mengurangi pembayaran bulanan ke Gaza sebesar 30 juta dollar AS. Di sisi lain, pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah memangkas lebih dari 500 juta dollar AS bantuan ke Palestina, termasuk mengakhiri semua dukungan terhadap badan PBB yang mengurusi pengungsi Palestina.
”Kemerosotan ekonomi di Gaza dan Tepi Barat tidak bisa lagi ditalangi lewat bantuan asing yang notabene telah turun secara bertahap, atau oleh sektor swasta yang tetap dibatasi oleh pembatasan pergerakan, akses ke bahan utama dan perdagangan,” ungkap Bank Dunia.
Bank Dunia menyatakan, ekonomi Gaza menyusut sekitar enam persen pada triwulan I-2018 dengan indikasi bakal mengalami kerusakan lebih lanjut. Bank Dunia juga mengatakan, satu dari dua warga Gaza hidup di bawah garis kemiskinan, sementara tingkat pengangguran mencapai 53 persen. Lebih dari 70 persen anak muda menganggur.
”Peningkatan frustrasi tergambar pada peningkatan ketegangan yang berujung pada kerusuhan dan mundurnya pengembangan sumber daya manusia di kalangan pemuda yang jumlahnya besar di kawasan itu,” kata Marina Wes, Direktur Bank Dunia untuk Tepi Barat dan Gaza.
Pada 20 September, utusan PBB untuk perdamaian Timur Tengah, Nickolay Mladenov, mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa ”Gaza dapat meledak kapan saja”. Israel dan militan Palestina di Gaza telah berperang tiga kali sejak 2008.
Dalam beberapa bulan terakhir, unjuk rasa massal di sepanjang perbatasan Gaza dengan Israel memicu bentrokan mematikan yang berulang dengan tentara. Setidaknya 187 orang Palestina tewas oleh tembakan militer Israel sejak protes dimulai pada 30 Maret. Satu tentara Israel meninggal pada waktu itu.
Israel mengatakan, tindakan itu diperlukan untuk mempertahankan perbatasan dan menuduh Hamas menggunakan protes sebagai tameng untuk upaya infiltrasi dan serangan. Adapun kubu Palestina dan kelompok hak asasi manusia mengatakan, para pemrotes ditembak dalam kondisi-kondisi yang sejatinya tidak membahayakan bagi pihak Israel. Mladenov dan pejabat Mesir berusaha untuk menengahi gencatan senjata jangka panjang antara Israel dan Hamas, tetapi upaya-upaya itu terhenti dalam beberapa pekan terakhir. (AFP)