Bawi Lamus, Perempuan Cantik Penjaga Harmoni Suku Dayak
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
JAKARTA,KOMPAS-Keanekaragaman hayati di bumi Borneo dan kehidupan suku Dayak yang penuh warna, menginspirasi pementasan teater bertajuk Bawi Lamus. Pertunjukan seni yang akan digelar di Gedung Teater Jakarta, pertengahan Oktober mendatang ini berkisah tentang sejarah hingga harapan di tengah situasi global yang penuh derap perubahan.
Bawi Lamus dalam bahasa Dayak berarti perempuan cantik dan anggun. Sosok istimewa ini memancarkan energi yang mampu menjaga kelestarian lingkungan serta menata hubungan yang selaras dengan manusia sebagai sesama makhluk Tuhan.
“Selain dipentaskan di Taman Ismail Marzuki pada 13 dan 14 Oktober mendatang, pertunjukan seni Bawi Lamus diharapkan bisa menjadi sarana promosi wisata alam dan budaya nusantara di luar negeri,” ujar Eksekutif Produser Leo Rustandi di acara konferensi pers di kawasan Kemang, Jakarta, Rabu (26/9/2018).
Pencetus ide pementasan teater bertajuk Bawi Lamus, AgustinTeras Narang mengatakan Pulau Kalimantan memiliki keistimewaan sebab memiliki hutan yang menjadi paru-paru dunia. Keanekaragaman plasma nutfahnya termasuk yang paling lengkap didunia untuk kategori hutan tropis.
“Kalimantan juga memiliki potensi seni dan budaya yang kaya serta sarat nilai terutama nilai hidup harmoni dengan alam. Nilai-nilai ini perlu disebarluaskan agar mampu menginspirasi masyarakat lain, utamanya generasi muda,” kata Agustin Teras Narang,
Pementasan Bawi Lamus melibatkan banyak pihak penyandang nama-nama besar. Ada Paquita Widjaja sebagai penulis naskah dan penata kostum, Jay Subiakto sebagai penata artistik, Erwin Gutawa sebagai penata musik, dan Edhi Waluyo sebagai koreografer.
Proses penggalian ide hingga persiapan pementasan menghabiskan waktu selama setahun. Pertunjukan multietnik yang diproduseri oleh Leo Rustandi ini menghadirkan bintang tamu artis legendaris Shopia Latjuba dan Lea Simanjuntak.
Untuk menulis naskah Paquita Widjaja mengaku harus berupaya keras mempelajari kehidupan Suku Dayak. Dia memulai melakukan riset dengan membaca sebanyak-banyaknya artikel tentang Dayak dan mencari literatur lama. Riset itu kemudian diperdalam dengan turun ke lapangan dan beriteraksi langsung dengan masyarakat.
“Yang paling sulit sebenarnya mencari referensi. Karena sejarah tanah Kalimantan dan Suku Dayak tidak banyak dituliskan. Tidak seperti sejarah Tanah Jawa,” ucap Paquita.
Ada empat tema yang diangkat dalam pentas yang disutradarai oleh Inet Leimena ini. Empat tema itu adalah alam, manusia, sejarah, dan harapan. Tema tentang alam akan menghadirkan kekayaan bumi Kalimantan yang kini tereksploitasi baik oleh tambang maupun perambahan hutan.
Sedangkan tema manusia menampilkan kehidupan masyarakat Dayak, tradisi dan kepercayaannya. Kemudian ada tema tentang sejarah yang menampilkan Tumbang Anoi, sebuah tempat yang menyatukan keragaman suku-suku Dayak. Kisah sejarah ini luar biasa.
“Pada babak terakhir, penonton akan dibawa kembali ke permasalahan yang ada di awal cerita yakni tentang bumi Kalimantan dan harapannya,” ujar Paquita.
Menurut Jay Subiakto, Bawi Lamus merupakan pertunjukan seni yang mengangkat permasalahan global seperti pemanasan global, kerusakan hutan akibat perambahan maupun kebakaran hingga budaya tradisional yang perlahan tergerus oleh perubahan zaman.
Dia ingin menyampaikan kepada generasi milenial, bahwa kebudayaan akan bisa maju atau berkembang apabila sebuah peradaban memiliki lingkungan yang sehat.
Sebagai bintang tamu, Sophia Latjuba mengaku jatuh cinta dengan alam Kalimantan. Dia prihatin melihat masyarakat yang kurang peduli pada kelestarian alam.
Melalui pertunjukan teater Bawi Lamus, dia berharap bisa menularkan rasa kecintaannya terhadap alam kepada masyarakat terutama generasi muda sekarang.