Persoalan data pemilih membuat pemungutan dan penghitungan suara jadi tahapan Pemilu 2019 dengan potensi kerawanan tinggi. Kerja sama banyak pihak dibutuhkan untuk mengatasi masalah data pemilih yang kini terjadi.
JAKARTA, KOMPAS — Pemungutan dan penghitungan suara menjadi salah satu tahapan pada Pemilu 2019 dengan kerawanan tinggi. Potensi kerawanan ini bisa diminimalisasi, salah satunya jika persoalan data pemilih bisa diselesaikan jauh sebelum pemungutan suara.
Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2019 yang diluncurkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di Jakarta, Selasa (25/9/2018), menunjukkan, ada 272 kabupaten/kota (52,9 persen) daerah tergolong rawan tinggi pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara, sedangkan sisanya tergolong rawan sedang. Kerawanan tahapan pemungutan dan penghitungan suara merupakan akumulasi pengukuran subdimensi hak pilih, pelaksanaan pemungutan suara, partisipasi pemilih, dan partisipasi publik.
Posisi kedua diikuti tahapan sengketa di 251 daerah (48,8 persen), pemutakhiran data pemilih (43,6 persen), kampanye (24,7 persen), dan distribusi logistik (5,4 persen).
IKP menggunakan skor 0-100. Satu daerah punya kerawanan tinggi jika mendapat nilai 66-100, sedang pada 33,01-66, lalu rendah jika di bawah 33. IKP 2019 disusun dari empat dimensi besar, yakni konteks sosial politik, penyelenggaraan yang bebas dan adil, kontestasi, dan partisipasi. Empat dimensi itu lalu dipecah menjadi 16 subdimensi dan 100 indikator. Secara nasional, IKP 2019 ada di kategori kerawanan sedang dengan nilai 49.
Menurut anggota (Bawaslu), M Afifuddin, kerawanan pada tahap pemungutan dan penghitungan suara serta pemutakhiran data pemilih salah satunya disumbangkan persoalan daftar pemilih. Bawaslu masih menerima banyak informasi mengenai pemilih berhak yang tidak tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) serta ada data pemilih tidak berhak yang masuk DPT.
Guna mengakomodasi warga yang belum masuk daftar pemilih tetap hasil perbaikan (DPTHP) ataupun data diduga ganda, KPU hingga pertengahan November 2018 mencermati kembali daftar pemilih tetap hasil perbaikan (DPTHP) tahap I.
Pada DPTHP tahap I, KPU menetapkan 185 juta pemilih dalam negeri dan 2 juta pemilih luar negeri. Namun, diperkirakan masih ada jutaan pemilih yang belum masuk DPT karena masalah administrasi kependudukan.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, kerawanan terkait hak pilih akan jadi prioritas KPU. Namun, penyelesaian persoalan daftar pemilih selama lebih kurang dua bulan mendatang tidak bisa hanya dilakukan KPU.
”Pemerintah selaku pemegang data kependudukan juga harus memberi dukungan. Pengawas pemilu juga perlu mendorong informasi dan temuan ditindaklanjuti. Keaktifan pemilih juga dibutuhkan,” katanya.
Penyelenggara pemilu
IKP 2019 juga memberikan indikasi kerawanan pada isu-isu strategis, seperti keamanan, netralitas, aparatur sipil negara, ujaran kebencian dan SARA, serta politik uang. Terdapat 34,2 persen daerah, atau 176 kabupaten/kota yang punya kerawanan politik uang tinggi. Dari sisi netralitas ASN, ada 18,1 persen daerah tergolong rawan tinggi. Sementara dari sisi keamanan dan ujaran kebencian serta SARA, daerah yang rawan tinggi masing-masing 94 (18,3 persen), dan 90 (17,5 persen).
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum pada Kementerian Dalam Negeri Soedarmo mengatakan, indeks kerawanan ini berubah jika pemangku kepentingan di daerah-daerah bisa mengondisikan situasi. Namun, dia juga mengingatkan pentingnya netralitas dua penyelenggara pemilu di daerah, yakni KPU dan Bawaslu. Ketidaknetralan penyelenggara di daerah jadi pemicu utama adanya kerawanan di daerah.
Muhammad dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) berharap IKP jadi arahan bagi penyelenggara agar cermat dan menjaga profesionalitasnya. Belajar dari pengalaman Pilkada 2018, sejumlah penyelenggara pilkada di daerah terbukti melakukan pelanggaran sehingga diberi sanksi oleh DKPP.
Kepala Bagian Analisis Teknis Pengawasan dan Potensi Pelanggaran Bawaslu Ilham Yamin menambahkan, dengan melihat skor IKP, penyelenggara pemilu bisa mencermati daerah-daerah yang rawan dan harus mendapatkan perhatian lebih. Maksudnya, agar potensi pelanggaran atau kerawanan di wilayah tersebut bisa diminimalisasi.
”Kami melakukan kajian melalui instrumen survei. Dengan memperhatikan setiap komponen dalam dimensi yang kami teliti tiap daerah, penyelenggara akan bisa mengetahui dalam bidang apa saja kerawanan itu kemungkinan timbul. Misalnya, apakah dalam kampanye, keamanan, ataukah hal-hal yang terkait dengan otoritas penyelenggara pemilu,” ujarnya.