Divestasi Jadi Momentum
JAKARTA, KOMPAS--Divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 51 persen dapat menjadi momentum untuk menempatkan Freeport Indonesia sebagai pusat keunggulan industri pertambangan. Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan perlu mengembangkan kualitas sumber daya manusia untuk mengelola Freeport Indonesia dan industri pertambangan lain, terutama di Papua.
Dengan cara demikian, pembangunan ekonomi di Papua dapat dipercepat.
Hal itu mengemuka dalam forum diskusi bertema "Kebijakan Divestasi Freeport untuk Kesejahteraan Mimika" yang diselenggarakan Harian Kompas di Jakarta, Selasa (25/9/2018). Diskusi menghadirkan narasumber Iwan Munajat dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Makassar Anas Iswanto Anwar, Akademisi Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Neles Tebay, dan ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov.
"Yang perlu dilakukan pasca akuisisi (divestasi) adalah men- jadikan Freeport sebagai center of excellence tambang bawah tanah," kata Iwan.
Nantinya, di Indonesia diperkirakan akan berkembang pertambangan bawah tanah. PT Freeport Indonesia (PT FI) dapat menjadi pusat pelatihan industri tambang bawah tanah.
Selain itu, lanjut Iwan, dengan divestasi PT FI oleh perusahaan induk BUMN sektor industri pertambangan, PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum, eksplorasi tambang di kabupaten lain di Papua perlu terus dilakukan. Dengan demikian, pertambangan di wilayah itu tidak hanya mengandalkan Freeport. Sebagai perbandingan, di Papua Niugini, terdapat 17 pertambangan.
Dalam mengeksplorasi daerah pertambangan lain di Papua, menurut Iwan, PT FI dapat dijadikan sebagai pusat logistik. Dengan mendorong kegiatan eksplorasi yang murah dan cepat, diharapkan Papua dapat menjadi pusat pengembangan industri pertambangan.
"Dengan divestasi 51 persen, industri bisa dikembangkan dan kita perlu mendorong kapasitas industri di dalam negeri," kata Iwan.
Selain itu, masyarakat lokal juga dapat dilibatkan sebagai pemasok atau kontraktor dalam industri pertambangan.
"Sektor pertambangan jangan dilihat dari royalti atau pajak yang bisa diperoleh, tetapi manfaat lain yang bisa dikembangkan dan diperoleh," ujarnya.
Ia menambahkan, alih teknologi juga perlu dilakukan secara lebih agresif sehingga posisi strategis PT FI dapat ditempati sumber daya manusia dari Indonesia, khususnya Papua.
Partisipasi
Neles mengungkapkan, hal terpenting dalam membangun sektor pertambangan di Papua adalah partisipasi masyarakat lokal di kawasan pertambangan.
"Masyarakat lokal, terutama suku setempat, perlu dihargai dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan," katanya.
Neles menambahkan, selama ini, ada stigma bahwa masyarakat lokal di Papua tidak mampu dilibatkan dalam manajemen perusahaan karena keterbatasan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu, tahapan pembangunan kualitas sumber daya manusia di Papua perlu direncanakan. Caranya melalui pendidikan dan pelatihan, baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun perusahaan pertambangan.
Tanpa keterlibatan masyarakat dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, lanjut Neles, dikhawatirkan sektor pertambangan yang akan dibangun di Papua tetap tidak berdampak banyak bagi masyarakat lokal dan sekitar lokasi pertambangan.
Pengelolaan
Anas Iswanto menilai, ada keuntungan yang diperoleh dari divestasi PT FI. Misalnya, peningkatan pendapatan negara dan kepercayaan terhadap Indonesia, kemampuan membangun kapasitas, dan transparansi dalam pengelolaan PT FI.
Namun, lanjut Anas Iswanto, keuntungan itu dapat diperoleh jika PT FI dan sumber daya alam dikelola secara profesional dan kompeten agar tidak terjadi salah kelola di kemudian hari. Oleh karena itu, BUMN yang mengelola harus profesional dan kompeten. Kemampuan atau kapasitas pemerintah daerah juga perlu diperkuat.
Anas mengingatkan, dalam mengelola sektor pertambangan, perlu diperhatikan juga perihal risiko yang mungkin muncul. Risiko itu di antaranya kerugian di bidang lingkungan hidup atau kegiatan dan usaha yang belum memiliki analisis dampak lingkungan. Sebab, risiko itu bisa berpotensi menimbulkan dampak yang besar.
Berdasarkan data PT FI, manfaat langsung bagi Indonesia dari pendapatan pajak, royalti, dividen, dan pembayaran lain pada tahun 2017 sebesar 756 juta dollar AS dan manfaat tidak langsung berupa pembayaran gaji pegawai, pembelian dalam negeri, pengembangan masyarakat, dan pembangunan daerah dan investasi dalam negeri sebesar 3 miliar dollar AS.
Selain itu, berdasarkan kajian LPEM-UI pada 2013, keberadaan PT FI dinilai memberikan kontribusi terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Mimika sebesar 91 persen. Adapun kontribusi bagi PDRB Provinsi Papua sebesar 37,5 persen, dan PDB Indonesia sebesar 0,8 persen. (FER)