JAKARTA, KOMPAS - Nilai ekspor mebel Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik yang ditabulasi Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia atau HIMKI menunjukkan, cenderung turun dari sekitar 1,9 miliar dollar AS tahun 2015 menjadi 1,6 miliar dollar AS di tahun 2017. Sementara impor mebel justru meningkat dari 355 juta dollar AS di tahun 2015 menjadi 471 juta dollar AS di tahun 2017.
Kinerja ekspor yang sulit didongkrak sementara impor cenderung meningkat menjadi tantangan industri mebel di Indonesia. Dukungan dan kebijakan kondusif pemerintah untuk meningkatkan daya saing industri mebel dinilai merupakan kunci mengatasi persoalan tersebut.
"Di tingkat ASEAN pun kinerja ekspor Indonesia nomor tiga setelah Vietnam dan Malaysia," kata Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur di Jakarta, Rabu (26/9/2018).
Abdul Sobur mengatakan hal tersebut pada seminar yang digelar pada pameran International Manufacturing Components dan Wood Working Machinery Exhibition. Kegiatan dilangsungkan di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta.
Merujuk data Centre for Industrial Series (CSIL) yang diolah HIMKI tahun 2016, China berada di posisi pertama dunia dengan nilai ekspor mebel mencapai 52 miliar dollar AS. Vietnam menempati urutan kelima dunia dengan nilai ekspor mebel 8,5 miliar dollar AS. Malaysia di peringkat 11 dunia dengan nilai ekspor mebel 2,4 miliar dollar AS. Sementara itu Indonesia di urutan 18 dunia dengan nilai ekspor mebel 1,7 miliar dollar AS.
Persaingan antara industri mebel Indonesia dengan Vietnam terkait aspek peraturan ketenagakerjaan, upah minimum, pajak, dan lainnya. "Jam kerja normal di Indonesia 40 jam per minggu sedangkan di Vietnam 48 jam per minggu. Jadi, efisiensi industri mebel Vietnam 20 persen lebih tinggi dibanding Indonesia," ujar Abdul Sobur.
Dia menuturkan, upah minimum di Indonesia sekitar 215 dollar AS sedangkan di Vietnam 145 dollar AS. Vietnam mengenakan pajak tinggi untuk produk konsumen dan barang mewah. Adapun mesin, peralatan, bahan mentah, dan barang modal untuk produk industri yang tidak tersedia di lokal dikenakan pajak rendah atau bahkan dikecualikan.
Bergeser
Pendiri Olympic Group yang juga berkiprah di Dewan Penasehat HIMKI, Au Bintoro mengatakan, sebelum tahun 1970-an kekuatan industri mebel ada di negara-negara Eropa. "Pertengahan dekade 70-an hingga tahun 1980-an kekuatan industri mebel bergeser ke Asia dengan pusat di Taiwan, Hongkong, dan Singapura," katanya.
Pada tahun 1990-an kekuatan industri mebel sebenarnya mulai bergeser ke Indonesia. Namun, peluang hilang menyusul peristiwa di tahun 1998 silam.
Sementara itu, dalam jangka waktu sekitar 10 tahun China mampu mengebut sehingga mendominasi kekuatan industri mebel dunia. "Padahal, di tahun 1990-an mereka itu masih belajar dari kita," kata Au Bintoro.
Menurut Au, regulasi kondusif bagi pelaku industri merupakan kunci untuk mendorong kinerja industri mebel di Tanah Air.
Kepala Subdirektorat Industri Kayu dan Rotan Kementerian Perindustrian, Mahardi Tunggul Wicaksono mengatakan, populasi besar Indonesia dengan sekitar 60 juta warga kelas menengah merupakan potensi pasar bagi industri mebel. Persoalan industri mebel antara lain berkaitan dengan isu produktivitas, desain, dan juga sumber daya manusia.
"Terkait isu produktivitas, di Kemenperin ada program mendukung revitalisasi mesin dan peralatan industri mebel. Ada insentif bagi industri yang memodernisasikan mesinnya," katanya.