Kisah di Balik Dukungan Yenny Wahid kepada Jokowi
JAKARTA, KOMPAS — Tokoh perempuan yang juga putri kedua presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Yenny Wahid, memutuskan untuk mendukung pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam Pemilu Presiden 2019. Sebelum mendeklarasikan dukungannya, Yenny berkisah tentang masa kecilnya dan keteladanan mendiang Gus Dur.
Yenny mendeklarasikan untuk mendukung pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin di Rumah Pergerakan Politik Gus Dur, Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (26/9/2018). Dalam mendeklarasikan pernyataan tersebut, Yenny turut didampingi segenap kader dan murid Gus Dur antara lain Gerakan Kebangkitan Nusantara (Gatara), Forum Kyai Kampung Nusantara (FKKNU), Garis Politik Al Mawardi (GP Al Mawardi), dan Komunitas Santri Pojokan (KSP).
Sebagai seorang tokoh perempuan dan putri mantan presiden RI, Yenny memang dinilai dapat memengaruhi suara masyarakat, termasuk jaringan kader Gus Dur, komunitas, dan lembaga ataupun pengagum atau penerus pemikiran serta perjuangan Gus Dur.
Senin (24/9/2018), Yenny menyampaikan, proses penentuan sikap politiknya telah dilakukan beberapa hari sebelum penetapan capres-cawapres oleh Komisi Pemilihan Umum pada 22 September 2018. Yenny juga telah intens menjalin komunikasi dengan kedua pasangan capres-cawapres, baik Joko Widodo-Ma’ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Dalam menentukan sikap politiknya, Yenny mempertimbangkan secara rasional dan spiritual. Pertimbangan rasional adalah dengan melihat dan mengkaji visi misi yang diusung setiap pasangan capres-cawapres.
Sementara pertimbangan spiritual adalah dengan menunggu istikharah atau shalat memohon petunjuk dari Allah yang dilakukan sembilan kiai dan ulama ternama dunia. Salah satu ulama tersebut merupakan murid dari anggota dewan pakar komite fikih di sejumlah negara seperti Arab Saudi, India, Amerika Serikat, dan Sudan yang telah meninggal, yakni Syekh Wahbah az-Zuhaili.
Meski demikian, Yenny menegaskan, pilihannya mendukung salah satu pasangan capres-cawapres merupakan sikapnya secara pribadi. Pilihannya itu juga tidak merepresentasikan yayasan yang dipimpinnya, yakni Wahid Foundation atau Jaringan Gusdurian. Namun, kader Gus Dur yang terjun untuk berpolitik akan mengacu pada sikap politik yang diputuskan Yenny.
Selain itu, dia juga menegaskan bahwa ibunya, Sinta Nuriyah Wahid netral atau tidak mendukung salah satu pasangan dalam Pilpres 2019. ”Meski putrinya memiliki pilihan politik, ibu saya akan tetap netral karena beliau merupakan ibu bangsa dan harus mengayomi semua,” ungkapnya.
Sebelum mendeklarasikan dukungannya, Yenny berkisah tentang masa kecilnya dan keteladanan dari mendiang Gus Dur. Berikut kisah yang diceritakan Yenny.
Sederhana namun Kaya dalam Karya
Bapak Ibu sekalian yang saya hormati, Pemilu 2019 nanti adalah proses demokrasi yang akan mengantar mandat kedaulatan rakyat ke tangan pemimpin yang tepat.
Di tangannya kita titipkan amanat untuk membawa kesejahteraan bagi rakyat. Di tangannya tergenggam kekuatan untuk membangun rasa bangga sebagai bangsa. Di tangannya ada kemampuan untuk mencerdaskan anak-anak kita. Di tangannya takdir kita sebagai orang-orang merdeka harus terus dijaga.
Bapak Ibu sekalian, Imam Syafei mengatakan, ”Manzilatul imam minar ra’iyah, manzilatul wali minal yatim.” Kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyatnya ibarat kedudukan seorang wali terhadap anak yatim. Pendapat ini menunjukkan betapa dekat sesungguhnya hubungan antara seorang pemimpin dengan rakyatnya. Betapa berat tugasnya untuk memastikan rakyatnya hidup terpelihara.
Kedekatan dengan rakyat hanya bisa dibangun ketika seorang pemimpin mampu berpikir sederhana. Bahwa tugasnya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menghadirkan keadilan dan kesetaraan. Keadilan dan kesetaraan dalam kedudukan di mata hukum; keadilan dan kesetaraan dalam mendapatkan akses untuk hidup makmur; keadilan dan kesetaraan dalam hak untuk memperoleh pendidikan agar mendapatkan masa depan yang cerah; serta keadilan dan kesetaraan untuk mendapat perlindungan dari kesewenangan sesama warga bangsa yang sering saling mengintimidasi atas nama agama dan sukunya.
Hal ini bisa kita lihat dengan sangat gamblang dalam hidup ayah saya. Beliau yatim sejak kecil karena kakek saya, KH Wahid Hasyim, menteri agama pada kabinet Bung Karno, meninggal dalam kecelakaan mobil. Beliau mendiami rumah keluarga sederhana yang bersebelahan dengan rumah Eyang Margono, kakek dari Pak Prabowo Subianto. Nenek kami harus menyambung hidup dengan cara berjualan beras untuk menghidupi enam orang anaknya, dan Gus Dur kecil sampai harus sering naik truk pengangkut beras untuk membantu ibunya.
Ayah saya hidup tidak bergelimang harta, dan itu diteruskan sampai beliau dewasa, hingga akhirnya menikah dengan gadis Sinta. Mereka meniti kehidupan secara apa adanya. Menapaki tangga kehidupan penuh perjuangan. Berjualan es lilin pun pernah dilakoni.
Kami dibesarkan dalam hidup tanpa kemewahan, namun sarat dengan penghargaan diri. Bapak menempa kami dengan semangat membumi, yang diwujudkan dalam hasrat untuk mengabdi.
Setelah mempunyai anak, Bapak dan Mama hijrah ke pinggiran selatan kota Jakarta. Rumah kami waktu itu letaknya terpencil. Sering kami berangkat sekolah dengan sepatu yang dibungkus plastik karena jalan dekat rumah kami berlumpur belum diaspal. Menunggu kendaraan di pinggir jalan yang penuh asap knalpot, basah kehujanan di halte bus, atau berdiri berjam-jam dalam bus dari Ciganjur, rumah kami, ke Grogol, tempat saya menuntut ilmu, adalah cerita ceria hidup saya sehari-hari.
Saya bersyukur pernah hidup sedikit susah, karena tanpa itu empati kami tidak akan terasah. Saya senang dididik hidup sederhana, karena dengan bekal itu, posisi dan jabatan tidak akan membuat kami terlena. Kisah kami ini mungkin tidak seberapa dibanding mereka yang masih menderita. Dan untuk merekalah kita harus terus berjuang dan berusaha agar tak ada lagi jurang yang menganga antara si miskin dan si kaya.
Bapak banyak terilhami oleh figur-figur yang dikaguminya, seperti Mahatma Gandhi yang membela rakyat dengan cara memberdayakan dan tanpa kekerasan. Sosok seperti Gus Dur dan Gandhi adalah sosok pemimpin yang kita butuhkan.
Negara ini adalah negara besar, penuh dengan kekayaan alam yang berlimpah. Negara ini adalah negara kaya, penuh dengan anak-anak bangsa yang punya talenta, mereka yang meyakini nilai kebajikan serta punya keinginan untuk mengabdi. Namun semangat mereka sering berbalas kegetiran dan kekecewaan, melihat proses politik yang sering mengkhianati cita-cita negeri.
Bangsa ini sedang susah, karena itu pemimpin yang kami cari adalah orang yang mau ikut gerah. Pemimpin yang kami rindu adalah pemimpin yang mendengar nurani rakyat.
Pemimpin yang tidak berjarak dengan masyarakat. Pemimpin yang tidak canggung memeluk warga dan bersama mereka berbaur dan berbagi aroma keringat. Pemimpin yang sederhana cara berpikirnya, bahwa bangsa ini harus dipenuhi hak dan kebutuhan dasarnya untuk hidup sejahtera.
Ayah saya menghadirkan keadilan sosial dengan cara memenuhi basic rights atau hak-hak dasar bagi segenap bangsa Indonesia, tanpa membeda-bedakan agama, keyakinan, warna kulit, ras, gender, maupun status sosial dari rakyat yang dipimpinnya.
Pemimpin yang kami pilih menghadirkan keadilan sosial dengan memenuhi basic needs atau kebutuhan dasar bagi mereka yang selama ini tak tersapa. Menghadirkan layanan pendidikan, kesehatan, maupun akses konektivitas bagi mereka yang dulunya tak terjamah. Dua-duanya berpikir dan bertindak sederhana, namun kaya dalam karya.
Oleh karena itu, dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, dengan ini kami menyatakan mendukung pasangan nomor satu. Biidznillah Presiden Jokowi akan kembali memimpin Indonesia.