Media Sosial Menjadi Awal Perjalanan UKM dan Komunitas Sosial
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Media sosial menjadi awal perjalanan pengusaha kecil dan menengah dalam merintis usahanya di era digital. Mereka bisa mempromosikan produknya sesuai dengan target yang ingin dituju.
Pendiri Brodo, Yukka Harlanda, menceritakan awal dirinya menjadi pengusaha sepatu. ”Pada awalnya saya ingin mencari sepatu, tetapi tidak ada ukuran yang pas dengan kaki saya,” ujar lulusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung itu dalam konferensi pers Facebook Laju Digital, di Jakarta, Rabu (26/9/2018).
Yukka merasa produk-produk sepatu dari luar negeri tidak cocok dengan kaki orang Indonesia. Ia juga melihat, banyak produk dari luar negeri yang diproduksi di Indonesia, salah satunya di Cibaduyut, Bandung, Jawa Barat.
Yukka dan salah satu temannya pun langsung tertarik untuk membuka UKM sepatu untuk pria pada 2010. Target pasar dari produk Brodo ialah pria yang baru mulai bekerja.
Dengan modal terbatas, ia mempromosikan sepatunya melalui media sosial. Yukka meyakini akan banyak pembeli melalui teknologi digital. Keyakinannya membuahkan hasil, hingga merek Brodo dipercaya sebagai sepatu resmi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Menurut Yukka, beriklan di media sosial lebih efisien dan efektif. Ia dapat memilih target yang hendak disasar dan dapat menganalisis kebiasaan calon target yang hendak dituju. ”Berbeda dengan beriklan di majalah yang pembacanya umum dan sulit untuk dianalisis,” ujarnya.
Yukka mengatakan setiap hari mengamati perkembangan di media digital untuk mengetahui tren yang sedang berkembang dan menganalisis kebiasaan pengguna media sosial. Ia juga memproduksi iklan digital berupa gambar dan video yang menarik konsumen.
Untuk menjadi besar, Yukka mengacu pada produk luar yang sudah dikenal masyarakat. Dari acuan tersebut, ia memodifikasi sehingga dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Berkembangnya Brodo juga bermanfaat bagi perajin sepatu di Cibaduyut. ”Kualitas produk dalam negeri tidak kalah dengan produksi dari luar negeri,” ujarnya.
Klinik kecantikan
Pendiri klinik kecantikan ZAP, Fadly Sahab, menceritakan awal membuka usaha cabut bulu permanen untuk perempuan pada 2009. Saat itu, media sosial mulai berkembang dan banyak digemari orang Indonesia. Ia mencoba beriklan dan menghabiskan 100 dollar AS tiap bulan.
Meskipun keuntungan dari usahanya masih kecil, Fadly merasa terus berkembang dengan baik. Pada 2011, ia pun mengubah konsep usahanya. Ia tidak hanya membuka layanan cabut bulu karena cabut bulu permanen hanya akan memiliki konsumen yang datang sekali.
Fadly pun membuka klinik kecantikan dengan tujuan agar orang mau datang kembali. Ia mengadopsi sistem yang ada di industri rumah sakit. Ia bekerja sama dengan dokter ternama untuk menarik konsumen. Bahkan, resepsionis yang bekerja di ZAP memiliki kemampuan berbahasa Inggris dan Mandarin.
Hingga saat ini, ZAP telah memiliki 37 cabang dengan jumlah karyawan sebanyak 859 orang, termasuk 170 dokter. Fadly mengakui, perkembangan usahanya ini karena pengaruh media sosial. Ia selalu berpromosi menggunakan foto-foto yang menarik agar konsumen yakin pada pelayanan ZAP.
Komunitas
Tidak hanya pelaku usaha, komunitas sosial pun dapat berkembang melalui media sosial, salah satunya Komunitas Temu Kebangsaan. Dewan Eksekutif Komunitas Temu Kebangsaan Desiana Samosir mengatakan, komunitas ini lahir dari keprihatinan atas banyaknya permusuhan dengan motif isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Permusuhan tersebut semakin besar seiring dengan situasi politik yang tidak stabil. ”Sekarang banyak sekat yang memisahkan dan timbul kecurigaan antarsesama warga Indonesia,” kata Desiana.
Berdasarkan keprihatinan tersebut, muncul gagasan untuk mempertemukan orang muda dalam suatu komunitas tanpa memandang SARA. Mereka mengadakan diskusi dengan pembahasan beragam demi tujuan mempersatukan bangsa Indonesia.
Diskusi tersebut dilakukan di media sosial. Ketika mengadakan suatu acara, mereka selalu membuat tayangan langsung di Facebook agar dapat dilihat seluruh warga Indonesia. Beberapa kampanye positif untuk persatuan bangsa Indonesia juga disebarkan melalui Instagram.
Komunitas ini terus berkembang sejak didirikan pada 2017. Hingga saat ini, mereka telah memiliki anggota sekitar 450 orang.
Menurut Desiana, keberadaan media sosial sangat membantu komunitasnya untuk mengampanyekan hal-hal positif untuk persatuan bangsa Indonesia. ”Ketika ada isu perpecahan, seperti bom di Surabaya (Jawa Timur), kami langsung membuat pesan yang mengajak agar tetap tenang dan tidak memperkeruh suasana dengan menggunakan isu SARA,” ujarnya.
Ia mengatakan, media sosial dapat menjadi sarana untuk memberi informasi kepada khalayak hal-hal yang positif. Menurut Desiana, penggunaan media sosial sangat mudah dan cepat tersebar ke banyak orang.