Neraca perdagangan Indonesia pada Agustus 2018, sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) defisit 1,02 miliar dollar AS, dipicu oleh defisit sektor minyak dan gas (migas) 1,66 miliar dollar AS meski sektor nonmigas surplus 0,64 miliar dollar AS. Secara akumulatif, defisit migas Januari-Agustus 2018 sebesar 8,35 miliar dollar AS, naik dibandingkan periode yang sama tahun 2017 sebesar 5,39 miliar dollar AS.
Pemerintah sebenarnya memiliki komitmen dan program untuk mengurangi ketergantungan pada impor minyak. Salah satunya dengan meningkatkan kapasitas dan membangun kilang pengolahan minyak yang baru. Namun, implementasinya belum terlihat signifikan.
Padahal, fungsi kilang pengolahan penting untuk mengolah minyak mentah (crude oil) menjadi produk minyak. Setidaknya, PT Pertamina (Persero) berencana membangun 2 kilang minyak yang baru (Grass Root Refinery/GRR), yakni di Tuban, Jawa Timur, dan di Bontang, Kalimantan Timur. Selain itu, Pertamina berencana meningkatkan kapasitas 4 kilang yang ada, yaitu di Balikpapan, Cilacap, Balongan, dan Dumai. Harapannya, kapasitas kilang meningkat dari sekitar 1 juta barel minyak per hari saat ini jadi 2 juta barel minyak per hari pada tahun 2025.
Investasi kilang minyak, baik peningkatan kapasitas kilang maupun pembangunan kilang baru, memang tidak kecil. Investasi hingga tahun 2024, misalnya, diperkirakan butuh modal 34 miliar dollar AS. Dengan asumsi nilai tukar rupiah Rp 14.500 per dollar AS, nilai investasi setidaknya Rp 493 triliun.
Tanpa komitmen dan konsistensi meningkatkan kapasitas dan membangun kilang baru, sulit berharap peningkatan kapasitas dapat terealisasi. Jika tidak ada komitmen, pembangunan 2 kilang baru dan peningkatan kapasitas 4 kilang yang ada dikhawatirkan tak terwujud tahun 2024 atau 2025 sehingga Indonesia tetap harus mengimpor minyak dalam jumlah yang semakin besar.
Selama ini, barangkali banyak kalangan berpikir lebih untung dan lebih mudah mengimpor minyak ketimbang merevitalisasi kilang dengan berinvestasi dalam jumlah besar. Padahal, impor yang besar menjadi “penyakit” defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan sehingga rupiah rentan gejolak.
Berbagai tantangan dan hambatan harus segera diselesaikan. Pertamina sebenarnya sudah bekerja sama dengan perusahaan minyak asal Rusia, Rosneft Oil Company, untuk membangun kilang minyak baru di Tuban. Namun, ada kendala lahan. Pembebasan lahan untuk proyek kilang dinilai tidak mudah. Oleh karena itu, Menteri BUMN Rini Soemarno meminta Pertamina menjalin kerja sama dengan PT Perkebunan Nusantara untuk memanfaatkan lahan PTPN. Sejauhmana pemanfaatan lahan itu dapat terlaksana memang masih butuh proses.
Pertamina terus berupaya memacu kapasitas kilang Balikpapan. Sampai akhir 2018, rencananya mulai pembangunan konstruksi. Namun, program peningkatan kapasitas kilang tidak hanya dilakukan di Balikpapan. Program juga direncanakan di 3 kilang minyak lain, yaitu Cilacap, Balongan, dan Dumai.
Oleh karena itu, pelaksanaan tahapan dan realisasi pembangunan perlu terus diawasi dan dijalankan agar implementasi dapat terlaksana dan tidak mengalami penundaan yang terlalu lama. Peningkatan kapasitas kilang lama maupun pembangunan kilang baru sangat penting dan seharusnya dapat terealisasi dalam lima tahun mendatang.
Apalagi, saat ini, Pertamina mendapat penugasan yang tidak ringan untuk terus meningkatkan kapasitas produksi migas, terutama melalui pengambilalihan sejumlah wilayah kerja migas.