SLEMAN, KOMPAS – Penerimaan yang dihasilkan dari pengelolaan barang milik negara di Indonesia dinilai masih minim. Pada tahun 2017, nilai barang milik negara hasil revaluasi atau penilaian ulang mencapai Rp 4.206 triliun, tetapi penerimaan negara bukan pajak yang dihasilkan dari pengelolaan aset-aset tersebut hanya Rp 2,4 triliun.
“Kontribusi barang milik negara terhadap penerimaan negara kita itu masih very tiny (sangat kecil),” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam kuliah umum bertema “Optimalisasi Manajemen Barang Milik Negara dalam Pengelolaan Kebijakan Fiskal”, Selasa (25/9/2018), di kampus Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM), Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, barang milik negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau berasal dari perolehan lainnya yang sah, misalnya hibah. Barang milik negara merupakan bagian dari kekayaan negara yang mencakup seluruh kekayaan hayati dan non hayati yang dikuasai negara.
Sebagian barang milik negara itu dimanfaatkan untuk mendukung tugas dan fungsi lembaga pemerintah serta memberi pelayanan pada masyarakat, tetapi ada juga yang disewakan atau dikerjasamakan dengan pihak lain sehingga menghasilkan penerimaan.
Sri Mulyani menjelaskan, berdasarkan hasil revaluasi, nilai barang milik negara di Indonesia pada tahun 2017 mencapai Rp 4.206 triliun. Nilai tersebut meningkat sekitar 106 persen dibanding nilai barang milik negara sebelum revaluasi yang sebesar Rp 2.034 triliun. Barang milik negara itu terdiri dari berbagai jenis, misalnya tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan mesin, jalan dan irigasi, serta aset lainnya.
Meski nilai barang milik negara itu cukup besar, pengelolaannya dinilai belum menghasilkan penerimaan yang optimal. Berdasar data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dihasilkan dari pengelolaan barang milik negara pada tahun 2017 hanya sebesar Rp 2,489 triliun.
Jumlah itu terdiri dari pendapatan pengelolaan barang milik negara sebesar Rp 610,64 miliar, pendapatan pemanfaatan barang milik negara Rp 505,47 miliar, pendapatan penjualan barang milik negara Rp 199,49 miliar, serta pendapatan badan layanan umum pengelola kawasan atau wilayah tertentu Rp 1,173 triliun.
Data Kemenkeu juga menunjukkan, selama tiga tahun terakhir, rata-rata PNBP yang dihasilkan dari pengelolaan barang milik negara hanya Rp 2,17 triliun. Sementara itu, rata-rata PNBP di Indonesia selama tiga tahun terakhir adalah Rp 276,27 triliun. Ini artinya, selama tiga tahun terakhir, rata-rata kontribusi PNBP dari barang milik negara terhadap total PNBP hanya sekitar 0,79 persen.
Optimalisasi
Sri Mulyani menyatakan, pemerintah terus berupaya mengoptimalkan pengelolaan barang milik negara. Untuk melakukan optimalisasi itu, pemerintah mengambil sejumlah langkah, salah satunya dengan membentuk Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN). Lembaga itu bertugas melakukan optimalisasi dan pendayagunaan aset-aset tidak produktif yang berada di bawah pengelolaan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
Sejak tahun 2016, LMAN mulai mengakuisisi aset-aset tidak produktif untuk dikelola dan dioptimalkan. Hingga Mei 2018, nilai aset yang dikelola LMAN mencapai Rp 80 triliun. Dari total aset yang diakuisisi LMAN, sekitar 50 persen aset tersebut berhasil dikembangkan sehingga menghasilkan pendapatan Rp 100 miliar pada 2016 dan Rp 250 miliar pada 2017.
“Kita akan terus memperbaiki tata kelola barang milik negara, termasuk menggunakan inovasi teknologi,” ungkap Sri Mulyani.
Secara terpisah, dosen FEB UGM, Tony Prasetiantono mengatakan, untuk meningkatkan PNBP, pemerintah bisa melakukan negosiasi ulang atas kesepakatan kerja sama pemanfaatan barang milik negara, terutama dalam bentuk tanah, dengan pihak lain. Melalui negosiasi ulang itu, pemerintah bisa meminta kenaikan nilai PNBP dari perjanjian kerja sama pemanfaatan barang milik negara.
“Selain aset yang dikuasai oleh kementerian dan lembaga pemerintah, aset milik BUMN (badan usaha milik negara) juga harus dioptimalkan,” ujar Tony.