“Rasane Sundul Langit”. Itu semacam tagline produk yang dihasilkan mbok-mbok Doudo, kumpulan para ibu di Desa Doudo, Kecamatan Panceng, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Di tangan mereka, lidah buaya disulap menjadi permen, es krim, dawet, stik, dan kerupuk. Jambu mede pun diolah menjadi minuman bercitarasa tinggi. Hadirlah olahan rasa ibu rumah tangga -umumnya ditinggal suami bekerja di Malaysia- serasa “menembus ke langit”.
Anggota mbok-mbok Doudo, Armisda, Senin (23/7/2018) menjelaskan, buah mede (mente) atau jambu monyet dijadikan minuman sari buah segar. Ampasnya dijadikan pepes dan manisan. Biji kacang mede diolah menjadi camilan atau dijual osean (biji terkupas kering). Dalam satu musim dihasilkan 30 ton mede. Biasanya dikirim ke Jombang, sebagian diolah sendiri. Sari buah mede dijual Rp 800 per gelas plastik.
Olahan es krim berbahan sayur, dalam sehari bisa diproduksi 80-150 kap (gelas plastik kecil). Satu kap dijual Rp 1.800 yang dipasarkan ke sekolah untuk mendorong anak-anak mengonsumsi sayuran, yang dikemas dalam bentuk es krim. Sawi putih dijadikan es krim rasa sirsak, sedang sawi hijau rasa coklat atau alpukat.
Tahun ini, Doudo menerima penghargaan Indonesia Green Award (IGA) kategori air bersih dan kategori pengeloaan sampah.
Olahan stik sayur dijual Rp 8.000 hingga Rp 10.000. Stik itu sudah dikirim ke Semarang, Bogor dan Jakarta dengan pemasaran dalam jaringan (daring). Keripik, kerupuk, dan permen lidah buaya diproduksi sesuai pesanan. Saat ini omset Mbok Doudo Rp 5 juta per bulan.
Produk makanan dan minuman itu hanya salah satu unggulan di desa sekitar 35 kilometer dari pusat Kota Gresik itu. Di Doudo terdapat Wong Doudo Craft (WDC), yang mengelola bank sampah dan kerajinan. Tempat tisu dan celengan (penyimpan uang) dibuat dari bahan bekas dipadu kain.
Menurut kader lingkungan Doudo, Sutomo, Doudo dulunya desa tertinggal. Predikat itu sejak 1980-an hingga 1990-an. Pada 1984, warga menjadi TKI/TKW. Pembangunan balai desa disumbang paguyuban warga yang bekerja di luar negeri.
Kondisi sosial warga dulu juga memprihatinkan. Air sulit didapat, warga pun buang air besar sembarangan. Tahun 2008, sebagian warga mulai membuat sumur bor dan tahun 2014 warga terlayani air bersih. Setiap keluarga pun punya jamban.
Perilaku hidup sehat warga terus ditingkatkan dengan gerakan cuci tangan pakai sabun. Perilaku itu pun menjadi gaya hidup warga, termasuk dalam pengelolaan lingkungan. Doudo yang dulunya gersang, kini hijau dan banyak pencapaian.
Pada periode 2014-2018 diperoleh 34 penghargaan. Tahun ini, secara nasional, Doudo menerima penghargaan Indonesia Green Award (IGA) kategori air bersih dan kategori pengeloaan sampah, selain Upakarti Utama tahun 2018.
Tiap kampung unik
Kepala Desa Doudo, Asti Sufana menyebutkan, desa seluas 1.040.000 meter persegi berpenduduk 1.490 jiwa dalam 405 keluarga tersebar di enam RT. Setiap RT menamakan diri ‘kampung’ yang punya keunikan dan keunggulan tersendiri. Setiap kampung bukan hanya menghijau, tetapi juga mampu meningkatkan kualitas kesehatan dan penghasilan warganya.
Kini, setiap rumah sedikitnya punya tiga dari lima jenis tanaman (tanaman peneduh, tanaman produktif, tanaman obat keluarga, tanaman hias atau sayuran). “Ada 10.000 bibit srikaya dari Tulungagung,” kata Asti. Tahun ini, desa itu menerima dana desa Rp 684 juta.
Warga RT 05, Nurhidayati, menjelaskan, warga menanam lidah buaya di pot maupun halaman. Ada 700-an rumpun lidah buaya. Di \'Kampung Aloevera\' itu, lidah buaya bukan sekedar tanaman hias, tetapi diolah menjadi kerupuk, stik, permen, rempeyek, dan dawet.
Zubaidah dari RT 01 menyebutkan keunggulan ‘Kampung Si Cantik Cerdas’ (siap cari jentik cegah demam berdarah). Di setiap rumah ada tanaman lavender dan serai pengusir nyamuk. Kader juru pemantau jentik (jumantik) ada di setiap rumah. Perkembangan nyamuk bisa dicegah agar warga tidak terjangkit penyakit demam berdarah.
RT 03, ‘Kampung 3R’ (reduce, reuse, recycle) punya keunggulan dalam mengurangi dan mendaur ulang sampah. RT 02 sebagai ‘Kampung Sayur’ punya keunggulan memanfaatkan lahan terbatas untuk tanam sayur. Hasilnya dikonsumsi sendiri, juga dijual. “Ada tomat, kangkung, sawi, brokoli, juga kacang panjang,” ujar Listin, warga RT 02.
Adapun di ‘Kampung e-Link’ (edukasi lingkungan inovatif kreatif) di RT 04 punya instalasi pengolahan limbah (IPAL) komunal. Limbah domestik dari 58 keluarga dipusatkan di satu titik ukuran 12x3x3 meter untuk mencegah pencemaran tanah dan air. Warga juga mengembangkan 600 titik biopori. “Hasilnya bisa dimanfaatkan untuk pupuk,” kata warga RT 04, Deviyanti.
Di setiap rumah juga terpasang tulisan “Tempat Parkir Rokok” disertai wadah menaruh rokok dari tempurung kelapa atau kaleng bekas. Itu mengandung pesan agar perokok tidak merokok di dalam rumah demi melindungi kesehatan perempuan dan anak-anak. Kalau masuk rumah, rokok dimatikan ditaruh di "tempat parkir" itu.
Sinergi
Sebagai upaya mendukung kelangsung program dan peningkatan kesejahteraan warga dibentuklah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Among Swa Arta (ASA). BUMDes itu melayani air bersih, pembayaran listrik hingga BPJS Kesehatan, juga memasarkan produk olahan dan kerajinan warga.
Pelaksanaan program desa disinergikan dengan program pendampingan PT Pertamina Aset 4 (PA4). Menurut, Community Development Officer (CDO) PA4 Doudo, Slamet Achmad Rodi, kini omset BUMDes mencapai Rp 6 juta per bulan. Sekitar sepuluh persen disalurkan untuk fakir miskin dan beasiswa.
Di sana juga ada empat pola pemberdayaan melalui Bank Sampah, yakni dengan simpan pinjam, beli langsung, bersedekah dengan sampah, dan pendidikan berbayar sampah. “Semua untuk kesejahteraan warga,” katanya.