Empat Belas Juta Hektar Lahan Kritis Perlu Intervensi
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PULANG PISAU, KOMPAS - Empat belas juta hektar lahan kritis masih harus dihijaukan. Namun, rehabilitasi hutan dan lahan kritis tidak cukup hanya dengan menanam pohon, melainkan juga harus membangun dan menjaganya.
“Kalau dulu bisa menanam pohon di semua kawasan, tetapi kalau tanam lalu ditinggal untuk apa. Sekarang tidak bisa begitu, harus ada yang kelola dan jaga,” kata Direktur Konservasi Tanah dan Air Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Muhammad Firman di sela Cross Country Visit di Desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Rabu (26/9/2018).
Kemarin, sebanyak 20 delegasi dari empat negara di Asia memulai belajar mengenai gambut dalam acara Cross Country Visit dari Asian Forest Cooperation Organization (AFoCO). Mereka akan mekihat langsung pengelolaan gambut.
Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) milik KLHK hanya akan dilaksanakan di kawasan hutan yang memiliki pemangku atau pengelola. Pengelola yang dimaksud seperti Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), baik hutan lindung maupun hutan produksi. Ada juga Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) dan pengelola hutan lainnya.
KLHK menargetkan bisa merehabilitasi satu juta hektar tahun ini hingga tahun depan. Minimal 500.000 ha per tahun. Digunakan strategi RHL murni dan tidak murni. “RHL murni itu kami lakukan pembibitan, ditanam lalu dibagikan. Kalau yang tidak murni kami beli bibit, lalu dibagikan saja,” jelas Firman.
Untuk RHL murni, KLHK merehabilitasi 230.000 ha, berlipat dibanding 2017 seluas 12.000 ha. Adapun untuk RHL tidak murni 300.000 ha lebih. Skema sama akan dilakukan tahun 2019.
“Tapi belum bisa di semua wilayah, hanya di 15 wilayah prioritas dan 15 danau prioritas. Sayangnya, di Kalteng belum ada. Tapi sudah banyak pihak merehabilitasi lahan kritis di sini (Kalteng),” kata Firman.
Di Pulang Pisau, tahun ini terdapat KHDTK Tumbang Nusa yang merehabilitasi lahan gambut kritis akibat terbakar seluas 200 ha dan tahun depan 1.600 ha. Total ada 5.000 ha kawasan yang dikelola. Pelaksanaan rehabilitasi dilakukan pihak ketiga, yakni CV Mustika Kencana dan PT Suprabari Mapanindo Mineral (SMM).
Dari total 5.000 ha KHDTK Tumbang Nusa menjaga 2.300 ha lahan gambut tak terbakar selama 21 tahun sejak tahun 1997. Sisanya terbakar hebat tahun 2015.
KHDTK Tumbang Nusa kini sudah memiliki dan menyemai satu juta bibit berbagai jenis tanaman endemik gambut, seperti belangeran (Shorea belangeran), tumih (Combretocarpus rotundatus), dan jelutung (Dyera polyphylla). Bibit disemai dua periode, masing-masing 500.000 bibit.
“Kami sudah riset sejak 1997 di lahan gambut ini (kawasan KHDTK) untuk merehabilitasi lahan kritis,” kata Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Banjarbaru Tjuk Sasmito Hadi. BP2LHK Banjarbaru tim peneliti pengeola KHDTK Tumbang Nusa.
“Sebelum menanam, kami teliti dulu mana pohon endemik yang cocok dan hidup di lahan gambut,” kata dia.
Rehabilitasi, kata Tjuk, tidak hanya soal menanam pohon. Membangun hutan yang dimaksud dalam rehabilitasi lahan-lahan kritis adalah dengan menjaganya dari kebakaran dan mengembalikan fungsi hutan sesuai ciri khasnya.
Persetujuan sukarela
Asisten Dua Sekretariat Daerah Kabupaten Pulang Pisau Tiswanda mengungkapkan, daerahnya wilayah lahan gambut terbesar di Kalteng. Bahkan, sebagian besar kubah gambut sehingga program rehabilitasi banyak di wilayahnya melibatkan warga sekitar lokasi.
“Bagusnya, karena sebelum program ada padiatapa atau persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan, masyarakat memahami. Ini penting karena di salah satu desa tanpa padiatapa atau sosialisasi, ada sekat kanal yang dirusak warga karena dianggap mengganggu,” kata Tiswanda.
Padiatapa jadi kunci keberhasilan penyaluran ide dan gagasan rehabilitasi ke masyarakat. Sebab, masyarakat khususnya masyarakat adat memiliki hak atas tanahnya.
Tjuk menjelaskan, soal kebakaran tidak bisa ditekan sampai titik nol dan akan terus merusak jika masyarakat tak dilibatkan. Sejak dulu, warga kerap membuat kanal yang akhirnya mengeringkan lahan.
“Dalam persemaian, membuat sekat kanal, dan sumur bor, masyarakat sekitar harus dilibatkan karena jadi pendapatan baru,” kata dia.