Generasi milenial akan jadi penentu masa depan Indonesia Emas 2045. Perilaku mereka yang khas mengubah lanskap ekonomi masa depan. Namun upaya menyiapkan mereka menghadapi tantangan yang berubah belum optimal.
JAKARTA, KOMPAS - Tahun ini, Indonesia memiliki 181 juta penduduk usia produktif berumur 15-64 tahun, hampir enam kali lipat penduduk Malaysia. Pada 100 tahun Indonesia merdeka, jumlahnya diperkirakan jadi 208 juta jiwa. Itu adalah modal besar pembangunan yang bisa jadi pengungkit untuk menjadikan Indonesia negara kaya.
Keuntungan dari jumlah penduduk produktif yang besar itu selaras dengan perkiraan PwC dalam "The World in 2050" pada Februari 2017 yang menyebut Indonesia akan jadi kekuatan ekonomi terbesar keempat dunia pada 2050. Jumlah penduduk produktif yang besar itu adalah buah dari bonus demografi yang sedang terjadi hingga 2036.
"Siapkan generasi muda sejak dini agar bonus demografi tidak berubah jadi bencana," kata Kepala Badan Pusat Statistik Kecuk Suhariyanto dalam seminar Hari Statistik Nasional (HSN) di Jakarta, Rabu (26/9/2018).
Peringatan HSN 2018 itu juga ditandai dengan penganugerahan BPS Award 2018 kepada sejumlah lembaga. Untuk kategori media, anugerah diberikan kepada Harian Kompas yang konsisten menganalisis data statistik secara tajam dan mengaitkannya dengan kondisi obyektif lapangan. Hadiah diserahkan kepada Wakil Redaktur Pelaksana Harian Kompas Tri Agung Kristanto.
Dari seluruh penduduk usia produktif itu, separuhnya adalah generasi milenial yang lahir antara 1980-2000. Mereka adalah generasi unik yang lahir dan tumbuh di tengah perubahan situasi politik dan sosial ekonomi serta berkembangnya internet.
"Mengelola anak milenial itu susah-susah gampang," kata peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara.
Akrabnya generasi milenial dengan gawai, internet dan media sosial bisa memicu ledakan ekonomi digital. Meski mewarisi industri manufaktur dan usaha pertanian dari orangtua mereka, anak milenial lebih tertarik berusaha di sektor usaha rintisan, teknologi keuangan, atau properti. Situasi itu mengancam keberlangsungan industri manufaktur dan pertanian di masa depan.
Selama 15 tahun terakhir, serapan tenaga kerja sektor pertanian terus turun dan sektor industri naik turun. Namun pekerja sektor perdagangan, rumah makan dan akomodasi jasa meningkat pesat. "Sektor jasa jadi pilihan anak milenial karena dianggap memiliki jenjang karir dan peningkatan pendapatan lebih cepat," kata Bhima.
Situasi itu membuat pertumbuhan industri melambat dan e-dagang melonjak drastis. Namun, sebagian besar barang yang diperdagangkan adalah barang impor. Karena itu, produksi barang dalam negeri perlu terus didorong agar neraca perdagangan yang defisit membaik.
Lonjakan sektor jasa itu juga didukung perilaku ekonomi generasi milenial yang lebih mengutamakan pengalaman dibanding kepemilikan. Riset di berbagai negara maju menunjukkan anak milenial jarang ke bank, lebih suka transportasi daring ketimbang beli mobil, dan lebih senang mengontrak rumah di dekat kantor daripada mencicil rumah yang jauh. Generasi milenial gemar jalan-jalan dan nongkrong di kafe daripada membeli baju.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Youth Laboratory Indonesia Muhammad Faisal menilai riset perilaku ekonomi generasi milenial di luar negeri tidak mencerminkan langsung generasi milenial di Indonesia. Perilaku ekonomi milenial Indonesia lebih didorong oleh perubahan infrastruktur transportasi dan situasi sosial ekonomi.
"Perkembangan infrastruktur mendorong anak muda ingin memembangun daerah asalnya," katanya. Kondisi itu diantaranya ditandainya dengan munculnya kedai kopi di berbagai daerah, desa wisata, hingga pertanian yang dikelola secara modern.
Di negara maju, penggunaan gawai meningkatkan individualisme yang memicu stres dan depresi. Sementara di Indonesia, gawai bisa mengikat anak muda dan meningkatkan kebahagiaan.
Revolusi industri 4.0
Tantangan kerja yang dihadapi generasi milenial di masa depan juga berbeda. Masifnya penggunaan mesin dan otomatisasi dalam Revolusi Industri 4.0 membuat sejumlah pekerjaan tradisional tergusur.
Studi Organisasi Buruh Internasional (ILO) di ASEAN pada 2016 menyebut lebih 60 persen pekerjaan di bidang elektronik, automotif, serta tekstil dan busana terancam oleh otomatisasi. Bahkan, risiko hilangnya pekerjaan di sektor perdangan retail mencapai 85 persen.
"Meski banyak pekerjaan hilang, jenis pekerjaan baru yang muncul jauh lebih besar," tambah Bhima. Pekerjaan baru itu umumnya terkait teknologi informasi, seperti analis data, ahli kecerdasan buatan, keamanan siber, hingga ekonomi digital.
Untuk menghadapi Revolusi Industri 4.0 itu, sistem pendidikan vokasi di sekolah menengah maupun perguruan tinggi harus diubah secara radikal. "Seperti di Korea Selatan, pendidikan seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan industri, bukan sekedar menuntaskan wajib belajar," kata Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Margo Yuwono.
Namun Faisal mengingatkan, wilayah Indonesia yang luas dan berpulau membuat perubahan radikal pendidikan itu tidak bisa dilakukan sama rata di semua wilayah. Kaum muda urban dinilai lebih mudah menerima perubahan tantangan kerja industri.
Di sisi lain, milenial Indonesia selain mendukung modernitas, juga banyak yang kembali meminati tradisi. Karena itu, keterampilan khas yang bernilai ekonomi, seperti membatik atau kesenian tradisional tetap perlu dikembangkan.