Lebih dari 200 penyakit ditularkan melalui makanan, salah satunya adalah keracunan pangan. Jika tak segera diatasi, penyakit bawaan pangan tersebut bisa memicu kematian. Untuk itu, keamanan pangan harus dijaga.
JAKARTA, KOMPAS—Keamanan pangan di Indonesia perlu mendapat perhatian serius. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, lebih dari 200 penyakit ditularkan melalui makanan, salah satunya keracunan pangan. Untuk itu, perlu ada edukasi sanitasi pangan kepada masyarakat dan sertifikasi layak sanitasi.
Di Indonesia, berdasarkan data distribusi kejadian luar biasa penyakit dan keracunan pangan yang dihimpun Kementerian Kesehatan tahun 2017, 23 persen di antaranya keracunan pangan. Tahun lalu ada 163 kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan, 7.132 kasus dengan tingkat kematian 0,1 persen.
”Penting untuk memperhatikan makanan, mulai dari pengolahan hingga penyajiannya. Edukasi kepada masyarakat tentang sanitasi pangan, khususnya tingkat rumah tangga, juga perlu dilakukan agar paham cara mengolah makanan yang baik,” kata Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari di Jakarta, Rabu (26/9/2018).
Data Kemenkes 2017 mengungkap, ada beragam sumber keracunan pangan, antara lain makanan rumah tangga, makanan kemasan, jasa boga, makanan jajanan, dan jajanan sekolah. Untuk itu, kebersihan dalam mengolah bahan baku pangan jadi masakan siap saji harus dijaga. Sektor rumah tangga jadi lini terakhir keamanan pangan warga.
”Ada 10,2 juta sampai 22,5 juta kasus diare akibat penyakit bawaan pangan di Indonesia. Biaya yang harus dikeluarkan untuk mengobatinya diperkirakan 4,8 miliar hingga 16,8 miliar dollar AS,” kata Guru Besar Pangan Institut Pertanian Bogor Harsi Dewantari Kusumaningrum.
Ada lima prinsip menyediakan pangan aman dikonsumsi bagi sektor rumah tangga dan komersial. Lima prinsip itu ialah menjaga kebersihan, memisahkan pangan mentah dari pangan matang, memasak pangan dengan benar, menyimpan pangan pada suhu aman, serta memakai air dan bahan baku aman. Hal itu berlaku mulai dari pengadaan bahan pangan, pengolahan, penyajian, hingga pengemasan.
Harsi mengatakan, menurut riset yang ia lakukan pada 2013 kepada 139 ibu rumah tangga (IRT) di Bogor, perhatian IRT terhadap isu pangan tinggi. Lebih dari 80 persen IRT mengetahui cemaran kuman bisa memicu keracunan. ”Mayoritas ibu rumah tangga mendapat informasi ini melalui televisi. Jadi, edukasi sanitasi pangan efektif disampaikan lewat media,” katanya.
Mayoritas ibu rumah tangga mendapat informasi ini melalui televisi. Jadi, edukasi sanitasi pangan efektif disampaikan lewat media.
Sertifikasi
Untuk mencegah keracunan pangan, Kemenkes menerbitkan peraturan higienitas sanitasi pangan di tempat pengelolaan makanan (TPM) yang mencakup jasa boga, rumah makan, depot air minum, dan pangan di rumah tangga. Tiap TPM wajib memiliki sertifikat layak higiene sanitasi yang dikeluarkan dinas kesehatan kabupaten atau kota setempat.
Untuk mendapat sertifikat, sejumlah syarat harus dipenuhi, yakni syarat administratif dan teknis. Jika lulus sertifikasi, pemerintah akan memberi stiker bagi TPM itu sebagai penanda bahwa makanan yang disajikan itu aman.
”Kesadaran akan sertifikasi ini perlu diperluas. Masyarakat akhirnya akan mengetahui mana yang bersih dan aman. Itu akan memengaruhi pilihan mereka mengonsumsi makanan. Selain itu, sertifikasi ini juga bisa menjadi nilai tambah bagi tempat pengolahan makanan,” kata Kirana.
Sementara Kepala Seksi Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja, dan Olahraga Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dicky Alsadik mengatakan, di DKI Jakarta ada 7.428 TPM dan 46,86 persennya layak sanitasinya. ”Lebih mudah mengawasi sanitasi pangan jika ada sentra makanan. Pedagang kaki lima lebih sulit diawasi,” ujarnya. (SEKAR GANDAWANGI)