Perang Kivu, Perang yang Terlupakan di Jantung Afrika
Ketika diminta untuk menyebut perang yang sudah lama berlangsung di suatu tempat di dunia, banyak orang cenderung menunjuk ke lokasi perang yang sangat terkenal saat ini, seperti Afghanistan dan Suriah.
Berapa banyak yang masih ingat perang Kivu? Perang di jantung Afrika ini adalah salah satu perang terpanjang, paling berdarah, dan paling berbahaya dalam sejarah saat ini. Perang di Kivu, sebuah wilayah di bagian timur Republik Demokratik Kongo, pertama kali berkobar satu generasi yang lalu.
Perang ini kemudian berkembang menjadi perang yang melibatkan negara-negara di Afrika timur dan selatan serta menewaskan jutaan orang. Sekarang perang Kivu masih berlanjut, tetapi dengan intensitas lebih rendah dan tanpa keterlibatan langsung pihak asing.
Bagaimanapun perang itu hampir setiap hari menyebabkan pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran desa-desa bersamaan dengan merebaknya wabah ebola. Semua ini membuat situasi Republik Demokratik Kongo menjadi makin tidak stabil.
”Perang Kivu sengaja dilupakan atau diabaikan oleh masyarakat internasional. Hal ini menunjukkan ada upaya tutup mata,” kata Omar Kavota, Kepala Pusat Studi untuk Perdamaian, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia (CEPADHO) yang berbasis di Provinsi North Kivu.
Perang melibatkan milisi yang berasal dari kelompok etnis. Mereka memperebutkan sumber daya alam Kivu yang disebut mencakup coltan, bijih logam untuk bahan baku telepon seluler dan mobil listrik.
Menurut Kongo Research Group, sebuah proyek studi di Universitas New York, terdapat 134 kelompok bersenjata aktif di dua provinsi: Kivu Utara dan Selatan. Pada Agustus saja terdapat 49 kematian akibat kekerasan, 103 penculikan, dan 32 bentrokan.
Pada Sabtu (22/9/2018), 21 orang tewas di pusat kota Beni, dibunuh para penyerang yang menggunakan senapan dan parang. Perang ini memaksa para pekerja pemberi bantuan untuk menangguhkan upaya pemberantasan wabah ebola. Dua hari kemudian, satu orang tewas dan 17 orang diculik di kota Oicha, 30 kilometer arah selatan.
Pihak berwenang mengatakan, serangan dilakukan Pasukan Demokratis Sekutu (ADF), kelompok yang berakar dalam paham ekstremisme di Uganda yang telah membunuh ratusan warga sipil Kivu sejak dibentuk pada 1995. ADF kini memperoleh sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Bencana besar
Kivu, sebuah wilayah yang lebih besar dari Portugal yang berbatasan dengan Burundi, Rwanda, Tanzania dan Uganda, mengalami bencana besar pada 1994. Ratusan ribu warga Hutu Rwanda melintasi perbatasan, takut akan terjadinya pembalasan setelah kelompok Hutu garis keras digulingkan dari kekuasaan menyusul genosida warga Tutsi dan Hutu yang moderat.
Dua tahun kemudian, perang Kongo pertama berkobar. Pemimpin baru Rwanda, Paul Kagame, yang beretnis Tutsi, mendukung pemberontak Laurent-Desire Kabila untuk menggulingkan diktator Mobutu Sese Seko.
Pasukan Kagame memasuki Republik Demokratik Kongo berperang melawan kelompok Hutu yang telah melakukan genosida. Namun, menurut penulis Belgia, David Van Reybrouck, justru pengungsi warga sipil yang berjumlah 200.000-300.000 orang itulah yang menjadi korban utama.
Setelah berkuasa, Kabila justru berbalik melawan sekutunya: Rwanda dan Uganda. Dia juga mengusir pasukan mereka dari Republik Demokratik Kongo dan perang Kongo yang kedua pun terjadi.
Sembilan negara Afrika dan lebih dari dua puluh kelompok bersenjata terlibat dalam perang yang diperkirakan telah menyebabkan lebih dari lima juta orang tewas akibat kekerasan, penyakit, dan kelaparan. Beberapa sejarawan menyebut Perang Kivu adalah ”Perang Besar Afrika”.
Perang Kivu secara resmi berakhir pada 2003, tetapi bara permusuhan masih tetap ada dan menimbulkan kekhawatiran bahwa perang akan merebak kembali. PBB pun telah menyiapkan pasukan perdamaian dalam jumlah terbesar untuk Republik Demokratik Kongo, yakni sekitar 17.000 personel dan anggaran tahunan sebesar 1,153 miliar dollar AS (Rp 17 triliun).
Perang Kivu secara resmi berakhir pada 2003, tetapi bara permusuhan masih tetap ada dan menimbulkan kekhawatiran perang akan merebak kembali.
PBB telah mengeluarkan peringatan ketidakstabilan politik di Kivu menjelang pemilihan presiden, legislatif, dan pemilihan provinsi pada 23 Desember. PBB mengatakan bahwa pasukan pemerintah menghadapi serangan ”ganda”. Konstelasi penyerang termasuk Pasukan Pembebasan Rwanda, kelompok Hutu Rwanda, serta milisi yang berasal dari kelompok etnis Kongo. Serangan-serangan terakhir itu telah memicu kekecewaan terhadap ketidakberdayaan tentara dan PBB, dan penguasa pun hanya diam.
Uskup Beni, Uskup Sikuli Paluku, menyerukan agar kekerasan segera dihentikan. Ia mempertanyakan kehadiran dan pengerahan besar-besaran pasukan bersenjata Republik Demokratik Kongo dan misi PBB di Kongo. ”Tidak bisakah kita mengakhiri semua ini?” ujarnya.
Gubernur North Kivu Julien Paluku kepada Radio Okapi yang didirikan oleh misi PBB di Kongo mempertanyakan strategi pertahanan saat ini. Anselme Mwaka, seorang anggota parlemen oposisi dari Persatuan untuk Bangsa Kongo, mengatakan bahwa serangan-serangan itu menimbulkan ”bahaya nyata” bagi penyelenggaraan pemilihan pada 23 Desember mendatang. (AFP)