YOGYAKARTA, KOMPAS — Bentara Budaya Yogyakarta tidak akan menghilangkan ciri khasnya sebagai ruang bagi bertumbuhnya kesenian rakyat. Semangat itu tampak dalam perayaan ulang tahun ke-36 melalui Pasar Yakopan di Bentara Budaya Yogyakarta, Rabu (26/9/2018) malam.
”Di tempat yang sederhana ini telah terjadi ribuan atraksi, pameran, performance, dan peristiwa seni. Maka, kiranya kita patut bersyukur bahwa Bentara Budaya Yogyakarta adalah bagian dari kehidupan kesenian dan kebudayaan,” kata budayawan Sindhunata dalam pembukaan Pasar Yakopan.
Pasar Yakopan hadir sejak ulang tahun ke-25 Bentara Budaya Yogyakarta. Nama Yakopan memang didedikasikan kepada Jakob Oetama, pendiri Kompas, yang memprakarsai lahirnya Bentara Budaya Yogyakarta. Semangat yang diusung dalam gelaran itu tidak lepas dari visi Jakob Oetama tentang humanisme. Dalam konteks kesenian, bagaimana agar peristiwa seni itu bisa merakyat dan menghibur mereka yang papa untuk menghadirkan kebahagiaan dalam kehidupan mereka.
Sindhunata mengungkapkan, hingga sekarang Bentara Budaya Yogyakarta terus berusaha mempertahankan ciri khasnya untuk mencintai tradisi dan seni kerakyatan. Harapannya agar kesenian rakyat dapat terus bertahan dengan zaman yang terus berubah.
Dalam penyelenggaraan kali ini, Pasar Yakopan tetap menghadirkan hiburan-hiburan berupa kesenian rakyat, dari organ tunggal tembang kenangan, orkes keroncong, hingga pertunjukan wayang suket.
Bentara Budaya Yogyakarta menegaskan dukungan dan keberpihakannya terhadap kesenian rakyat juga dengan memberikan penghargaan kepada individu yang mendedikasikan hidupnya terhadap hal itu. Penghargaan itu diberikan setiap perayaan ulang tahun Bentara Budaya Yogyakarta.
Salah seorang yang pernah mendapatkan penghargaan itu, Sujud Sutrisno. Semasa hidupnya, ia dikenal sebagai Sujud ”Kendang”, yang menabuh kendang dari kampung ke kampung, hingga panggung ke panggung. Ia konsisten untuk memainkan kendang dan mempertahankan kesenian rakyat itu.
Tahun ini, penghargaan diberikan kepada Thomas Pudjo Widjianto, wartawan Kompas yang telah purnatugas tahun lalu. Sindhunata menyatakan, Pudjo merupakan wartawan yang secara rutin menulis kesenian di Yogyakarta, dalam bentuk apa pun, dari yang paling besar hingga yang paling kecil.
”Ini merupakan pengabdian jurnalistik terhadap kesenian di Yogyakarta,” ujar Sindhunata.