BANDUNG, KOMPAS - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengembuskan rencana proyek raksasa reaktivasi jalur kereta api hingga bandar udara dalam masa kepemimpinannya. Selain dana triliunan rupiah, butuh terobosan dalam tata kelola birokrasi untuk mewujudkan ambisi itu.
"Saya tahu ini pembangunan sangat ambisius. Tapi, saya ingin Jabar jadi provinsi termaju di Indonesia," kata Kamil di Bandung, Kamis (27/9/2018). Ia paham, pertumbuhan ekonomi mensyaratkan koneksi.
Oleh karena itu, kata Kamil, ia berharap birokrasi bisa bekerja cepat. "Jangan sampai birokrasi menghambat pembangunan. Ini untuk seluruh warga Jawa Barat. Kita bisa bekerja tanpa membutuhkan waktu lama,” kata dia.
Reaktivasi jalur kereta api bakal dilakukan di empat titik. Semuanya potensial memecah kemacetan dan mendukung mobilitas ke tempat wisata.
Empat jalur yang akan diaktifkan lagi adalah Bandung-Ciwidey, Rancaekek-Tanjungsari, Banjar-Pangandaran-Cijulang, dan jalur Cibatu-Garut-Cikajang. Keempat proyek itu membutuhkan Rp 7,9 triliun. Reaktivasi Jalur Pangandaran diharapkan selesai 2023 sedangkan tiga jalur lainnya ditargetkan tahun 2022.
Jalur Cibatu-Garut menjadi prioritas pertama dan diharapkan rampung tahun 2019.
Empat jalur itu dipilih untuk melancarkan mobilitas masyarakat. Untuk jalur Pangandaran, potensi pariwisatanya besar karena pantainya indah.
"Tapi jarak tempuh jalur darat mencapai sepuluh jam. Saya jamin orang-orang akan mau kesana menggunakan kereta api,” tuturnya.
Kamil juga berencana memperpanjang landasan pacu Bandara Kertajati dari 2.500 meter menjadi 3.000 meter hingga ikut merampungkan pembangunan bandara baru di Kabupaten Sukabumi. Selain itu, ada juga jalur khusus angkutan tambang hingga Pelabuhan Patimban.
Untuk semua itu, diperkirakan membutuhkan anggaran Rp 300 triliun.
Menurut pakar tata kota Institut Teknologi Bandung Johnny Patta, selain dana besar, masalah yang akan dihadapi terkait birokrasi dan pembebasan lahan.
“Hambatan yang dihadapi adalah birokrasi pemerintah itu sendiri. Perlu diubah tata pikirnya. Padahal, ini provinsi terbesar di Indonesia, mencapai 46 juta jiwa,” ujarnya.
Johnny menuturkan, pembebasan lahan menjadi permasalahan yang juga memperlambat pembangunan. Tidak hanya protes dari kalangan masyarakat, hambatan dari institusi pemerintah pemilik lahan membuat pembangunan tersendat.
Untuk itu, keahlian negosiasai dari pemimpin dibutuhkan. Hubungan baik dengan pemerintah pusat juga jadi kunci memperlancar upaya lobi dan negosiasi.
“Gubernur juga harus tegas dalam menjalankan rencana pembangunan, tapi tetap memperhatikan masyarakatnya. Melobi institusi lain juga sebaiknya tidak dilakukan orang lain, tapi langsung oleh gubernur. Bila hal itu bisa dilakukan, beragam hambatan harapannya bisa lekas diantasi,” tutur Johnny.