SEMARANG, KOMPAS – Indonesia dinilai sangat tertinggal dibandingkan banyak negara lain dalam hal pendidikan tinggi vokasi. Dari 4.529 lembaga pendidikan tinggi, hanya 5,4 persennya atau sekitar 245 di antaranya merupakan perguruan tinggi maupun politeknik vokasi.
Direktur Jenderal Kelembagaan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Patdono Suwignjo, mengungkapkan hal itu, Kamis (27/9/2018) di sela-sela Dies Natalis ke-6 Polikteknik Maritim Negeri Indonesia (Polimarin) di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Sejak tahun 2017, jumlah pengajuan izin pendidikan tinggi (PT) vokasi meningkat dari 3-4 PT vokasi menjadi 8 PT per tahun. “Peningkatan pendidikan tinggi vokasi ini harus terus dipacu, mengingat Indonesia masih sangat tertinggal dalam hal perguruan tinggi vokasi maupun politeknik. Jika tidak segera dirintis, Indonesia butuh waktu 200 tahun guna menyamai kemajuan PT vokasi di tingkat global," ujarnya.
Dies natalis Polimarin dihadiri inisiator pendirinya, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muh Nuh dan mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Djoko Santoso. Hadir pula Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, Deputi Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Sekretariat Kabinet Surat Indijarso, Asisten Potensi Maritim Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL) Laksamana Muda TNI Edi Sucipto, serta Direktur Polimarin Sri Tutie Rahayu.
Menurut Patdono, untuk memacu kemajuan Indonesia di sektor maritim dan pengembangan manufaktur lain, pendidikan tinggi vokasi harus diperbanyak. Perguruan tinggi vokasi maupun politeknik akan memperkuat lahirnya tenaga-tenaga ahli dan praktisi yang sangat dibutuhkan bangsa.
“Bila ditelusuri, kenapa Indonesia tertinggal dengan kemajuan bangsa lain, ini terkait erat dengan budaya masyarakat yang suka mengejar pendidikan tinggi yang memberi gelar ketimbang belajar jadi tenaga praktisi handal. Pendidikan vokasi dipandang tak menarik mengingat lulusannya hanya pekerja praktisi,” kata Patdono.
Pendidikan vokasi dipandang tak menarik mengingat lulusannya hanya pekerja praktisi.
Untuk itu Kemenristekdikti terus mendorong tumbuhnya PT vokasi. Saat ini ada 262 PT vokasi yang terus diupayakan dapat memenuhi standar. Dari jumlah itu, PT vokasi yang sudah terakreditasi A baru sebanyak tiga PT vokasi, selebihnya masih terakreditasi B dan C.
Pelatihan dosen
Kebijakan lain adalah, dosen-dosen di PT vokasi yang tidak berlatar belakang kevokasian, diminta mengikuti pelatihan di dalam maupun luar negeri. Mereka harus mampu menyelesaikan pelatihan vokasi dan memperoleh sertifikasi kelayakan mengajar. Bila gagal, mereka tidak lagi boleh menjadi dosen.
Selanjutnya, para mahasiswa juga didorong magang di sejumlah perusahaan atau industri yang sudah bekerja sama dengan PT vokasi. Mereka baru dinyatakan lulus setelah memperoleh sertifikasi dari tempat magang.
“Guna memercepat lahirnya tenaga praktisi handal, formula kurikulum PT vokasi dibakukan jadi kurikulum 6-2-1. Itu pola adaptasi dari PT di Jerman, yaitu pengabungan pendidikan di ruang kelas 6 semester, dua semester magang di industri, dan satu semester, bisa magang atau kembali ke kampus,” ucap Patdono.
Laksamana Muda Edi Sucipto mengemukakan, TNI AL peduli terhadap pengembangan industri kemaritiman dengan pendidikan tinggi vokasi kemaritimian disesuaikan kebutuhan industri dan dunia kerja. TNI AL juga membantu menyusun arah tujuan pendidikan vokasi maritim Indonesia jangka panjang.
Hal itu bertujuan agar pendidikan vokasi dapat dikembangkan hingga jenjang tertinggi yakni pendidikan doktor terapan. Upaya ini dilakukan bersama Akademi Militer, TNI AL, dan Sekolah Komando Angkatan Laut di bidang pertahanan matra laut.
“TNI AL juga membantu peningkatan kapasitas dan kapabilitas perguruan tinggi untuk menghasilkan produk Litbang dan inovasi industri. Kami membantu lulusan PT vokasi kemaritiman supaya bisa berkarir di sektor industri,” kata Edi.