B Josie Susilo Hardianto dari New York, Amerika Serikat
·3 menit baca
NEW YORK, KOMPAS -- Ruang pertemuan di lantai mezanin Hotel Roosevelt, New York, yang semula sepi, tiba-tiba riuh oleh tepuk tangan delegasi dari 30 negara anggota Forum Kontraterorisme Global (GCTF). Tepuk tangan spontan itu menjadi apresiasi atas pidato Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi yang menegaskan bahwa perempuan adalah agen-agen perdamaian, terutama untuk mencegah berkembangnya terorisme dan radikalisme.
Di depan anggota GCTF, Rabu (26/9/2018), Retno membuka pidatonya dengan mengangkat peristiwa serangan bom di Surabaya, pertengahan Mei lalu. Peristiwa itu menjadi alarm bagi semua pihak. Sebab, dalam serangan itu, dalang pengeboman menggunakan perempuan dan anak-anak sebagai pelaku serangan. Perempuan dan anak-anak, kata Retno, telah menjadi korban perekrutan jejaring terorisme.
Namun, pada saat yang sama, di tengah keprihatinan semua pihak atas peristiwa itu, ada harapan bahwa di pundak perempuan upaya-upaya deradikalisasi dan langkah-langkah melawan terorisme dapat disandangkan. Dalam kesempatan itu, Retno mengemukakan kajian dan langkah- langkah yang telah dilakukan oleh Wahid Institute, seperti pengembangan Desa Damai dan besarnya potensi perempuan sebagai agen perubahan.
Inisiatif Desa Damai, yang antara lain didukung oleh UN Women, adalah upaya mengembangkan komunitas lokal menjadi komunitas yang toleran. Selain itu, kepada warga, khususnya perempuan, diberi pembekalan dan peningkatan kapasitas serta kemampuan di bidang ekonomi.
Aktualisasi dari potensi itu dilakukan lewat pengembangan dan pelibatan perempuan dalam kegiatan ekonomi lokal. ”Pemberantasan terorisme tak hanya dilakukan pada tingkatan kebijakan, tetapi harus masuk ke tingkat komunitas dan keluarga,” kata Retno.
Penguatan di tingkat akar rumput itu yang menjadi sarana untuk melawan terorisme dan radikalisme. Saat ini, upaya itu terus disuarakan di tingkat global untuk menjadi satu gerakan bersama.
Menlu Australia Marise Payne, yang hadir dalam pertemuan itu, spontan melihat ke arah Retno. Saat meninggalkan ruang pertemuan, ia menyempatkan diri menemui Retno dan berbicara. Ditemui di sela-sela acara itu, Retno mengatakan, Payne mengapresiasi pernyataan Retno dan mengajak untuk terus mengembangkan dan memperkuat kerja sama kedua negara dalam isu pemberantasan terorisme.
Perhatian utama
Sebagai catatan, dalam GCTF, Indonesia dan Australia adalah ketua bersama untuk komite yang membidangi upaya-upaya melawan terorisme. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang diundang menjadi anggota GCTF.
Payne menegaskan pentingnya mengembangkan kerja sama pemerintah dan lembaga-lembaga nonpemerintah.
Bagi forum itu, isu peningkatan kapasitas komunitas menjadi isu penting. Meredanya krisis di Suriah dan Irak yang mendorong kembalinya kombatan-kombatan asing ke negara mereka masing- masing menjadi salah satu perhatian utama.
”Pemberantasan terorisme tak hanya dilakukan pada tingkatan kebijakan, tetapi harus masuk ke tingkat komunitas dan keluarga."
GCTF, yang dibentuk pada 2011, melihat ancaman terorisme saat ini semakin berkembang. Mereka tidak lagi hanya menggunakan cara konvensional,
seperti serangan bom dan senjata api.
Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kemlu Grata Endah Werdaningtyas mengatakan, teroris telah menggunakan situs-situs gelap. GCTF terus mendorong kerja sama internasional untuk menanggapi itu. ”GCTF fokus pada upaya pengumpulan sumber daya, keahlian-keahlian, dan hal-hal yang nantinya dianggap krusial untuk penanggulangan terorisme,” katanya.
Orientasi GCTF sendiri adalah aksi di tingkat komunitas. GCTF melihat pengembangan dan pembangunan kapasitas sebagai isu penting, karena kemampuan dan kapasitas penanggulangan terorisme dari sejumlah negara berbeda-beda. Apalagi, maraknya kombatan-kombatan asing, perubahan metode serangan, dan pelibatan aktor-aktor baru dalam serangan, membutuhkan pendekatan yang berbeda.
Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang diundang menjadi anggota GCTF. Indonesia dinilai memiliki kapasitas, pengalaman, serta pendekatan komprehensif untuk menghadapi isu terorisme dan radikalisme. Indonesia dinilai mampu mengkombinasikan pendekatan lunak dan keras saat menghadapi isu terorisme.
(Artikel ini telah diperluas dari versi cetak harian "Kompas", Jumat, 28 September 2018, pukul 14.15 WIB)