RUU Penyadapan Disusun
Dalam draf RUU yang disusun Baleg DPR, penyadapan bisa dilakukan jika mendapat penetapan dari pengadilan. Hal ini dikhawatirkan menghambat kerja penegakan hukum.
JAKARTA, KOMPAS - Badan Legislasi DPR mulai menyusun draf Rancangan Undang-Undang tentang Penyadapan. Dalam draf tersebut, penegak hukum harus berkoordinasi dengan pengadilan saat hendak menyadap. Ketentuan ini berpotensi menghambat penegakan hukum.
Pada Pasal 5 Ayat (2) RUU Penyadapan disebutkan, pelaksanaan penyadapan dalam rangka penegakan hukum dikoordinasikan dengan lembaga peradilan.
Ketentuan lebih detail diatur di Pasal 10 yang menyebutkan bahwa pelaksanaan penyadapan harus berdasarkan penetapan ketua pengadilan tinggi (PT). Apabila penyadapan akan dilakukan kepada pejabat yang memiliki kewenangan terkait dengan penyadapan, penetapan diajukan kepada Ketua Mahkamah Agung.
Sementara dalam hal keadaan mendesak, antara lain permufakatan jahat yang merupakan karakteristik tindak pidana yang terorganisasi, penyidik bisa menyadap hanya dengan berbekal persetujuan dari pimpinan pusat pemantauan penyadapan yang harus ada di setiap lembaga penegak hukum. Namun, bersamaan dengan itu, permohonan penetapan penyadapan kepada ketua PT tetap harus diajukan.
Agar tak menghambat penegakan hukum, penetapan penyadapan harus dikeluarkan dalam batas waktu tertentu. Dalam kondisi normal, ketua PT harus mengeluarkan penetapan dalam jangka waktu paling lama 3 x 24 jam sejak permohonan diajukan. Adapun dalam kondisi mendesak, batas waktunya 2 x 24 jam.
Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas, Kamis (27/9/2018), mengatakan, penetapan pengadilan dibutuhkan untuk memastikan penyadapan yang dilakukan penegak hukum tidak melanggar hak asasi manusia.
Namun, pengaturan mekanisme penyadapan dalam draf tersebut belum final sebab bermunculan ide lain dari anggota Baleg DPR ataupun dari instansi di luar DPR.
Menghambat
Ada usulan agar untuk kejahatan-kejahatan tertentu, penyadapan tak perlu penetapan pengadilan. Adapun yang dimaksud kejahatan tertentu itu, kejahatan yang mengancam keamanan negara, korupsi, dan narkotika. Dengan demikian, mekanisme yang kini berlaku untuk KPK, berlaku pula untuk semua lembaga penegak hukum.
”Ide ini muncul salah satunya karena kekhawatiran penyadapan bocor kalau meminta izin pengadilan,” kata Supratman.
Di luar itu, ada pula ide agar penyadapan hanya dilakukan oleh kejaksaan. Lembaga penegak hukum lain meminta kejaksaan untuk menyadap sehingga cukup kejaksaan yang mengajukan permohonan penetapan ke pengadilan. Dengan begitu, tidak sulit mengontrol ataupun mengaudit penyadapan yang telah dilakukan. Selama ini, pengawasan dinilai sulit karena alat sadap dan penyadapan tersebar di lembaga-lembaga penegak hukum.
Sejauh ini, Supratman melanjutkan, Baleg DPR masih menjaring berbagai masukan. ” Jadi, masih jauh sebelum RUU ini ditetapkan menjadi RUU inisiatif DPR dan dibahas dengan pemerintah,” ujarnya.
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Golkar Sarmudji menambahkan, penyusunan RUU Penyadapan ini merupakan amanah putusan Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan penyadapan harus diatur dengan undang-undang tersendiri. RUU juga penting untuk menyeragamkan mekanisme dan jangka waktu penyadapan oleh lembaga- lembaga penegak hukum, juga mencegah pelanggaran HAM.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari mengingatkan, mekanisme penyadapan dengan memohon penetapan pengadilan berpotensi menghambat penegakan hukum. Itu karena kejahatan-kejahatan khusus, seperti korupsi, pencucian uang, dan narkoba, kerap kali tidak hanya melibatkan masyarakat, tetapi juga penegak hukum, termasuk oknum pengadilan.
Karena itu, lebih tepat jika semua lembaga penegak hukum yang menangani kasus-kasus tindak pidana khusus memiliki mekanisme khusus dalam menyadap. Ini seperti yang berlaku di KPK, tak perlu memohon penetapan pengadilan.
”Kalau mekanisme di KPK bisa diterapkan di penegak hukum lain, tentu akan ada upaya yang lebih efektif dalam memberantas kejahatan-kejahatan khusus,” ujarnya.